Pencurian Data : Apakah Data dapat Dipersamakan dengan Barang?

Dalam Pasal 406 KUHP diatur perbuatan dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tidak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain. Dalam Pasal 362 KUHP diatur perbuatan mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum. Apakah data dapat dipersamakan dengan barang? Apakah penggunaan istilah “pencurian data” tepat? 

Menggunakan kedua pasal dalam KUHP yang dimaksud untuk konteks ruang siber mengharuskan interpretasi bahwa konsep barang dalam KUHP adalah sama dengan konsep Informasi atau Dokumen Elektronik dalam KUHP. Bukankah pengertian barang dalam yurisprudensi Indonesia telah diperluas sampai termasuk kepada listrik? Dapatkah pengertian “barang” diperluas sehingga termasuk di dalamnya Informasi atau Dokumen Elektronik? Yurisprudensi Belanda dan Indonesia telah menerima bahwa listrik adalah salah satu bentuk “barang” ; dan oleh karena itu, terminologi “barang” dapat diperluas sehingga termasuk “data komputer”. Apabila hal tersebut dimungkinkan maka pemindahan terhadap Informasi atau Dokumen Elektronik dapat dilakukan dengan menggunakan paham KUHP; demikian pula pengrusakan informasi atau dokumen elektronik.
Perdebatan mengenai dapat disamakannya “data” dengan “barang” telah terjadi di Negara Belanda dalam kurun waktu 1980 s.d. 1990an, dan perdebatan tersebut berakhir dengan keluarnya Yurisprudensi 1997, 574; Mahkamah Agung Belanda menyatakan bahwa data komputer tidak dapat dijadikan objek penyitaan karena data komputer bukanlah “barang (goed).” Menurut Koops, terminologi “barang” dalam hukum pidana memiliki karakteristik yang tidak bisa diubah yaitu bahwa hanya ada satu orang yang dapat mempunyai penguasaan atas suatu barang. Meskipun “barang” tidak harus sesuatu yang berwujud (tangible), tetapi penguasaannya harus berada pada satu orang. Selain itu menurut Koops, konsep barang tunduk pada hukum property (kebendaan), sedangkan data pada hukum intellectual property. Dalam kasus pencurian listrik, listrik merupakan barang tidak berwujud tetapi penguasaan listrik berada pada satu orang. Listrik berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dan perpindahan tersebut dapat dibuktikan dengan menyalanya lampu atau mesin, dan ketika listrik berpindah, energi tersebut tidak lagi berada pada tempatnya semula. Tidak demikian halnya dengan data; data dapat dikuasai oleh lebih dari satu orang sehingga penguasaan terhadap data menjadi tidak spesifik. Maksudnya, ketika seseorang ‘mengambil’ data komputer dari orang lain, keduanya masih dapat mengakses data yang sama. Data komputer yang dimaksud dapat tidak berpindah dari tempatnya semula, seperti halnya listrik.
Menyamakan kedua terminologi ini adalah salah satu hal yang sangat sulit untuk diterapkan – jika tidak dapat dikatakan mustahil. Oleh karena itu, dalam UU ITE digunakan terminologi “memindahkan” dan bukan “mencuri”.

Referensi

  1. Josua Sitompul (2012), Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw : Tinjauan Aspek Hukum Pidana.
  2. Putusan Hooge Raad tanggal 23 Mei 1921, N.J.1921, 564 pada kasus pencurian listrik di Gravenhage, Topo Santoso, Hukum Pidana, http://staff.ui.ac.id/internal/132108639/material/HUKUMPIDANA1.pdf.
  3. Eoghan Casey, Digital Evidence and Computer Crime: Forensic Science, Computers and the Internet, Third Edition, Elsevier, London, Inggris.
  4. Bert-Jaap Koops (2005), ‘Cybercrime Legislation in the Netherlands’, in: Pauline C. Reich (ed.), Cybercrime and Security, Vol. 2005/4, Dobbs Ferry, NY: Oceana Publications.