Pada beberapa kesempatan dalam beberapa minggu belakangan ini, saya terlibat dalam diskusi mengenai Pasal 36 UU ITE, khususnya tentang bagaimana menerapkan Pasal 36 UU ITE. Sepertinya pasal ini semakin kerap digunakan akhir-akhir ini dibandingkan dalam kurun waktu 2009 s.d. 2015 di mana saya aktif memberikan keterangan ahli di tingkat penyidikan maupun di persidangan. Postingan kali ini membahas mengenai penerapan Pasal 36 UU ITE yang saya angkat dari buku Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw: Tinjauan Aspek Hukum Pidana. Beberapa argumentasi lain juga saya tambahkan dalam postingan ini. Tujuan dari pembahasan ini adalah memberikan interpretasi yang koheren dengan UU ITE dalam menerapkan Pasal 36 UU ITE sehingga hak konstitusional Tersangka dapat dilindungi.
Pasal 36 UU ITE mengatur “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi Orang lain.” Ancaman pidana terhadap pelanggaran ketentuan yang dimaksud adalah penjara maksimal 12 tahun dan/atau denda maksimal 12 miliar rupiah.
Dalam pembahasan Pasal 36 UU ITE, pendapat Eser relevan untuk diangkat. Ia menyatakan “harm is an essential substantive element of every crime. It may even be called the ratio essendi of the crime, for it is the criminal harm inflicted that makes the perpetrator’s conduct sanctionable. (2001, p. 346) Secara konkrit, bentuk harm dalam suatu ketentuan pidana adalah perbuatan yang dilarang atau akibat yang dilarang. Tiap-tiap pasal dalam ketentuan pidana UU ITE sudah mengatur harm-nya masing-masing. Sebagai contoh, harm dalam Pasal 27 ayat (2) adalah mendiseminasi muatan perjudian. Pasal 32 ayat (1) UU ITE melarang perbuatan dengan sengaja dan tanpa hak menghilangkan informasi elektronik milik orang lain. Harm yang diatur dalam Pasal 33 adalah melakukan tindakan yang berakibat terganggunya Sistem Elektronik attau mengakibatkan Sistem Elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya.
Secara struktur, Pasal 36 UU ITE tidak bisa berdiri sendiri karena memiliki hubungan yang tidak terpisahkan dari Pasal 27 s.d. Pasal 34 UU ITE. Akan tetapi, hubungan tersebut tidak secara mudah digambarkan oleh pembentuk UU ITE. Hal ini dapat menjadi masalah besar dalam penegakan hukum khususnya dalam melindungi hak asasi manusia.
Yang menjadi unsur penghubung antara Pasal 27 s.d. Pasal 34 dan Pasal 36 adalah “melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal …” dan “yang mengakibatkan kerugian bagi Orang lain”. Unsur kedua merupakan unsur harm dalam Pasal 36 UU ITE. Permasalahan utama dalam perumusan Pasal 36 adalah tidak dirumuskannya secara jelas dan spesifik ruang lingkup kerugian. Apakah kerugian dalam pasal tersebut adalah kerugian materil atau juga termasuk imateril? Kemudian apakah menimbulkan kerugian tersebut harus langsung atau tidak langsung? Apakah yang dimaksud “Orang lain” hanyalah korban yang diatur dalam Pasal 27 s.d. Pasal 34 UU ITE, atau termasuk korban lain?
Sebagaimana dijelakan sebelumnya bahwa Pasal 27 s.d. Pasal 34 UU ITE sudah mengatur harm-nya masing-masing. Dalam beberapa pasal sudah merumuskan adanya kerugian bagi orang lain. Dalam Pasal 32 UU ITE perbuatan menghilangkan, merusak, mengurangi Informasi Elektronik, secara konsep, merupakan perbuatan yang merugikan pemilik Informasi Elektronik. Dalam Pasal 33 UU ITE, perbuatan membuat Sistem Elektronik tidak berfungsi sebagaimana merupakan perwujudan dari mengakibatkan kerugian bagi Orang lain. Bahkan mendiseminasi video porno mengenai hubungan seksual tanpa izin dari orang yang melakukannya merupakan bagian dari menimbulkan kerugian bagi orang lain. Jika dalam Pasal 27 s.d. Pasal 34 UU ITE sudah diatur mengenai adanya perbuatan yang menimbulkan kerugian, mengapa Pasal 36 UU ITE mengatur unsur “mengakibatkan kerugian bagi Orang lain”? Bukankah ini merupakan tumpang tindih dengan pasal-pasal yang terkait tersebut?
Orang yang memenuhi perumusan Pasal 27 s.d. Pasal 34 UU ITE dapat secara otomatis memenuhi perumusan Pasal 36 UU ITE. Kondisi ini disebut sebagai concursus idealis, satu perbuatan yang memenuhi beberapa ketentuan pidana. Berdasarkan Pasal 63 KUHP, pidana terhadap concursus idealis hanyalah salah satu dari ketentuan tersebut, dan jika berbeda-beda, yang dikenakan adalah yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat. (UTRECHT, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana Buku II, hal. 172-183)
Kemungkinan yang dapat terjadi dalam praktik adalah sebagai berikut. Ancaman pidana terhadap penghinaan online (Pasal 27 ayat (3) UU ITE) adalah penjara maksimal 4 tahun dan/atau denda maksimal 1 miliar (Pasal 45 ayat (3) UU ITE. Tersangka dari tindak pidana penghinaan online tidak dapat ditahan berdasarkan Pasal 21 KUHP. Akan tetapi, jika Pasal 27 ayat (3) UU ITE dilapis dengan Pasal 36 UU ITE maka ancaman pidananya menjadi penjara maksimal 12 tahun dan/atau denda maksimal 12 miliar rupiah. Tersangka menjadi dapat ditahan.
Pidana penjara Pasal 27 ayat (3) UU ITE sudah diamandemen dari maksimal 6 tahun menjadi 4 tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa pembentuk undang-undang menilai bahwa penghinaan online tidak layak untuk ditahan. Hal ini tentunya memberikan perlindungan yang lebih kuat terhadap hak asasi seorang Tersangka, khususnya mengenai kebebasan berekspresi. Penghinaan online merupakan tindak pidana dalam UU ITE yang tingkat subjektivitasnya tinggi. Hanya korban yang dapat menentukan bagian mana dari suatu tulisan yang menghinanya. Dalam praktik, pernyataan korban diperkuat oleh keterangan dari Ahli bahasa atau Ahli komunikasi. Keterangan ahli juga memiliki nilai subjektif. Ahli dari Kementerian Komunikasi dan Informatika dapat menyatakan suatu tulisan bukan merupakan penghinaan (misalnya penghinaan terhadap perusahaan). Akan tetapi, ahli lain dapat menyatakan kebalikannya.
Sebelum Pasal 27 ayat (3) UU ITE diamandemen, seorang Tersangka dapat ditahan karena penilaian subjektif korban dan ahli. Hal ini yang tampaknya ingin diperbaiki oleh pembentuk undang-undang. Untuk melindungi hak asasi Tersangka, penentuan suatu konten sebagai pelanggaran Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus dilakukan secara objektif di persidangan.
Akan tetapi, dengan menghubungkan Pasal 27 ayat (3) UU ITE dengan Pasal 36 UU ITE, Tersangka menjadi dapat ditahan. Lebih jauh, ancaman pidana berupa penjara maksimal 12 tahun yang diterapkan dalam penghinaan online seolah-olah menyatakan bahwa penghinaan merupakan kejahatan yang sangat serius. Pertanyaannya: adakah dan jika ada kerugian macam apa yang muncul dari penghinaan online yang dapat diancam dengan pidana penjara 12 tahun? Jika tidak ada, penggunaan Pasal 36 dalam kasus penghinaan online merupakan tindakan yang berlebihan. Apabila tidak ada konstruksi hukum yang jelas mengenai penerapan Pasal 36 UU ITE maka pasal ini dapat disalahgunakan. Hal ini tentu tidak boleh terjadi.
Unsur yang ditekankan dalam Pasal 36 UU ITE ini ialah unsur ‘mengakibatkan kerugian’. Oleh karena itu, dalam penerapannya Kerugian harus timbul akibat langsung dari perbuatan yang dilarang, dan kerugian yang dimaksud seharusnya ialah kerugian materil yang signifikan, yaitu kerugian ekonomis yang dapat diperhitungkan dengan uang. Misalnya kerugian yang muncul akibat gangguan sistem (Pasal 33 UU ITE) dan gangguan data berupa rusak atau hilangnya informasi atau dokumen elektronik ialah munculnya biaya untuk memperbaiki atau memulihkan kerusakan atau kehilangan informasi atau dokumen elektronik yang dimaksud. Biaya ini dapat berupa: (i) biaya mengganti sistem keamanan yang telah dirusak atau dibobol, (ii) biaya pembelian sistem untuk merestorasi Informasi atau Dokumen Elektronik, dan (iii) biaya mempekerjakan administrator atau pekerja lain untuk memperbaiki atau memulihkan kerusakan atau kehilangan. Signifikan atau tidaknya kerugian ini akan diputuskan oleh hakim.
Penafsiran bahwa yang dimaksud dengan kerugian ialah kerugian ekonomis yang signifikan tentunya sejalan dengan beratnya ancaman pidana Pasal 36 UU ITE; jika kerugian tidak signifikan maka seharusnya pelaku tidak diancam dengan pidana seberat itu. Sedangkan kerugian imateril tampaknya bukan maksud dari unsur yang dimaksud; jika kerugian imateril termasuk dalam unsur ini maka aparat penegak hukum akan semakin sulit untuk menentukan nilai dari kerugian korban yang sebanding dengan ancaman pidana 12 (dua belas) tahun atau denda 12 (dua belas) milar! Meskipun demikian, perlu diingat bahwa kerugian imateril yang timbul akibat dari perbuatan yang dilarang tetap dapat dimintakan ganti kerugian melalui proses gugat-menggugat.
Sedangkan yang dimaksud dengan “Orang lain” adalah orang perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum yang menjadi korban langsung dari perbuatan yang dimaksud dalam Pasal 27 sampai Pasal 34; pihak ketiga yang terkait dengan perbuatan tersebut sepatutnya tidak menggunakan pasal ini, tetapi menggunakan mekanisme gugat menggugat. Demikian juga bagi “Orang lain” dapat menuntut ganti kerugian terhadap biaya yang timbul akibat kehilangan atau kerusakan yang dimaksud melalui mekanisme gugat menggugat.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, aparat penegak hukum harus sangat selektif dalam menerapkan Pasal 36 UU ITE. Kedua, Pasal 27 s.d. Pasal 34 UU ITE sudah memuat (baik secara langsung maupun tidak langsung) adanya kerugian. Apabila kerugian yang dialami oleh korban sudah dipenuhi oleh pidana pokoknya maka Pasal 36 UU ITE tidak perlu diterapkan. Apabila diterapkan, hal tersebut merupakan tindakan yang berlebihan dan dapat melanggar hak asasi Tersangka. Ketiga, pada prinsipnya, Pasal 36 UU ITE tidak dapat diterapkan untuk kasus Pasal 27 ayat (3) UU ITE.
Referensi:
Albin Eser, The Principle of “Harm” in the Concept of Crime: A Comparative Analysis of the Criminally Protected Legal Interests, Duquesne University Law Review 4 (1966), pp. 245-417.
Josua Sitompul, Cyberspace, Cybercrime, Cyberlaw: Tinjauan Aspek Hukum Pidana, Tata Nusa, 2012.