Uni Eropa Usulkan Lembaga Anti Cybercrime Baru

Ada begitu banyak instumen regional yang digagas persatuan negara Eropa yang dapat menjadi bahan bagi pembentukan peraturan perundang-undangan atau kebijakan di Indonesia terkait regulasi dunia siber. Sebut saja Convention on Cybercrimes yang sudah menjadi pedoman utama bagi kebanyakan negara-negara di dunia dalam membentuk perundang-undangan cybercrimes. Indonesia juga mengadopsi konvensi ini dalam pembentukan UU ITE. Selain itu, Directive 95/46/EC tentang data protection dapat dijadikan bahan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan mengenai privasi. Aturan-aturan yang terdapat di dalamnya dimaksudkan untuk melindungi warga negara dari tiap negara anggota; menurut Direktif ini, perlindungan terhadap data merupakan bagian perlindungan warga negara. Ada juga instrumen yang lain yang menekankan pada perlindungan data. Berita di bawah ini menginspirasi penulis mengenai perlunya kerja sama yang lebih konkrit di antara negara-negara anggota organisasi dalam menangani tindak pidana siber. Sebagai anggota ASEAN dan sebagai anggota APEC, ada baiknya Indonesia juga meneruskan (echo) pesan ini. TEMPO.CO, Jakarta–Negara-negara di Eropa menggagas lembaga baru yang akan mengurusi kejahatan internet alias Cybercrime. Sebanyak 40 ribu perusahaan dari berbagai sektor , termasuk energy, perbankan dan rumah sakit wajib melaporkan jika terjadi pelanggaran kemananan internet, yang akan diatur dalam aturan baru yang diusulkan oleh Uni Eropa. Langkah ini merupakan bagian dari langkah global untuk memerangi kejahatan dunia maya. Continue reading →

Legalitas mengakses Handphone Suami atau Istri

Apakah suami atau istri dapat mengakses (membuka, membaca, membalas, atau menghapus SMS, dan menerima panggilan) telepon selular istri atau suami?Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) merupakan delik laporan. Pasal ini dimaksudkan untuk melindungi properti dan juga privasi seseorang. Hanya pemilik atau yang memiliki hak yang dapat mengakses suatu Sistem Elektronik. Tidak hanya itu, di dalam satu Sistem Elektronik terdapat informasi, dan tiap informasi memiliki nilai, baik nilai yang bersifat pribadi maupun nilai ekonomis, sehingga privasi dan kepentingan pemilik atau pihak yang berhak tersebut dilindungi oleh ketentuan Pasal 30 ayat (1) UU ITE. Continue reading →

Berita Bohong dan Menyesatkan Pasal 28 ayat (1) UU ITE

Beberapa waktu lalu ada diskusi mengenai penjualan laughing gas (nitrous oxide – N2) melalui website. Calon penjual ingin memasarkan produknya berdasarkan fakta dari Wikipedia bahwa N2O merupakan gas yang tidak berbahaya pada saat dihirup dengan dosis tertentu. Oleh karena itu, calon penjual  menentukan takaran penggunaan berdasarkan uji coba yang dilakukan terhadap dirinya sendiri. Apakah website Wikipedia dapat dijadikan acuan hukum sehingga apabila di kemudian hari terbukti takaran tersebut tidak aman maka penjual tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana? Apabila memang gas tersebut tidak aman, apakan penjualan gas ini dilarang mengingat perusahaan rokok juga menjual rokok secara bebas padahal rokok dapat menyebabkan kanker, impotensi, dan penyakit lain?

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam isu ini adalah: Laughing gas sebagai produk yang memiliki dampak pada kesehatan dan distribusi informasi mengenai laughing gas sebagai produk di Internet. Mengingat rekan menekankan pada isu kedua, yang pertama hanya dibahas secara umum saja yang terkait dengan pembahasan isu kedua.

 

 

Laughing gas sebagai produk yang berdampak pada kesehatan

Dalam penjualan produk yang memiliki dampak pada kesehatan, tentunya dibutuhkan uji klinis yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan best practices. Wikipedia merupakan referensi umum yang perlu diperkuat dengan pendapat ahli. Dari penelitian ini  dapat diketahui tingkat keamanan, dosis yang tepat, dan kontra indikasi, serta penanganan terhadap efek samping penggunaan produk ini. Tentunya hal-hal tersebut penting untuk diinformasikan dalam distribusi produk di Internet.

Pengaturan dalam UU ITE

Dalam dunia siber, anonimitas dan pseudonimitas telah menjadi “hak asasi” setiap warga siber; setiap orang dapat menjadi siapa saja dengan menggunakan identitas apa saja dalam berkomunikasi. Akan tetapi, penggunaan anonimitas dan pseudonimitas tersebut tidak boleh melanggar hak/kepentingan orang lain atau hukum.

Dalam melakukan transaksi online, para pihak tidak perlu bertemu secara langsung, dan mungkin tidak pernah bertemu sebelumnya. Karakteristik-karakteristik ini sering disalahgunakan oleh pelaku kejahatan untuk melakukan penipuan atau mengambil keuntungan dari pihak yang beritikad baik. Oleh karena itu, para pihak yang melakukan transaksi memerlukan tingkat kepercayaan pada level tertentu yang dapat menjembatani risiko yang mungkin muncul dengan kepentingan mereka. Tingkat kepercayaan tersebut dapat dibangun melalui berbagai cara:

–      pengaturan hukum;

–      pengaturan teknologi;

–      pengaturan masyarakat siber;

Pengaturan hukum dibentuk oleh suatu negara dalam bentuk peraturan perundang-undangan, atau oleh suatu lembaga atau organisasi bagi anggotanya. Misalnya, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pengaturan dengan menggunakan teknologi dapat merupakan hasil implementasi dari pengaturan hukum. Misalnya untuk melaksanakan transaksi elektronik, para pihak yang melakukan transaksi dapat menggunakan tanda tangan elektronik atau secure socket layer (SSL). Sedangan pengaturan masyarakat siber dapat berupa norma-norma yang dibangun oleh kominitas, seperti komentar pembeli terhadap penjual terhadap transaksi yang pernah ia lakukan agar calon pembeli lain dapat mengenal si penjual dan kredibilitasnya.

Pasal 9 UU ITE mengatur bahwa Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan. Yang dimaksud dengan “informasi yang lengkap dan benar” meliputi:

  1. Informasi yang memuat identitas serta status subjek hukum dan kompetensinya, baik sebagai produsen, pemasok, penyelenggara maupun perantara;
  2. Informasi lain yang menjelaskan hal tertentu yang menjadi syarat sahnya perjanjian serta menjelaskan barang dan/atau jasa yang ditawarkan, seperti nama, alamat, dan deskripsi barang/jasa.

Secara implisit, ketentuan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa transaksi elektronik harus dilakukan dengan itikad baik. Oleh karena itu, tingkat keamanan, dosis yang tepat, dan kontra indikasi, serta penanganan terhadap efek samping penggunaan laughing gas juga harus dicantumkan dalam website. Meskipun takaran nikotin dan tar dalam sebatang rokok tergolong rendah, pada setiap bungkus rokok terdapat peringatan : “merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin.”

UU ITE juga mengatur sanksi terhadap mereka yang menyalahgunakan karakteristik transaksi online untuk tindak pidana.  Pasal 28 ayat (1) setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik. Ancaman pidananya ialah penjara maksimal 6 tahun dan/atau denda maksimal 1 miliar (Pasal 45 ayat (2) UU ITE). Konsumen yang dimaksud di sini ialah konsumen akhir, bukan konsumen antara; sedangkan kerugian yang dimaksud adalah kerugian materil yang dapat dinilai dengan uang. Perbuatan dengan sengaja menginformasikan manfaat atau kelebihan produk saja dan menyembunyikan informasi material tentang efek samping produk terhadap kesehatan dapat diancam dengan ketentuan ini.

Lebih lanjut Pasal 36 UU ITE mengatur bahwa setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 s.d. Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi Orang lain, diancam dengan pidana penjara maksimal 12 tahun dan/atau denda maksimal 12 M. Kerugian yang di maksud di sini adalah kerugian yang signifikan atau material, bukan kerugian imateril.

Referensi:

–      UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

–      Sitompul, Josua. 2012. Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw : Tinjauan Aspek Hukum Pidana. PT Tatanusa.

–      http://www.drsusanrubin.com/wp-content/uploads/2009/12/laughing_gas.jpg

Pencurian Data : Apakah Data dapat Dipersamakan dengan Barang?

Dalam Pasal 406 KUHP diatur perbuatan dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tidak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain. Dalam Pasal 362 KUHP diatur perbuatan mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum. Apakah data dapat dipersamakan dengan barang? Apakah penggunaan istilah “pencurian data” tepat? 

Menggunakan kedua pasal dalam KUHP yang dimaksud untuk konteks ruang siber mengharuskan interpretasi bahwa konsep barang dalam KUHP adalah sama dengan konsep Informasi atau Dokumen Elektronik dalam KUHP. Bukankah pengertian barang dalam yurisprudensi Indonesia telah diperluas sampai termasuk kepada listrik? Dapatkah pengertian “barang” diperluas sehingga termasuk di dalamnya Informasi atau Dokumen Elektronik? Yurisprudensi Belanda dan Indonesia telah menerima bahwa listrik adalah salah satu bentuk “barang” ; dan oleh karena itu, terminologi “barang” dapat diperluas sehingga termasuk “data komputer”. Apabila hal tersebut dimungkinkan maka pemindahan terhadap Informasi atau Dokumen Elektronik dapat dilakukan dengan menggunakan paham KUHP; demikian pula pengrusakan informasi atau dokumen elektronik.
Perdebatan mengenai dapat disamakannya “data” dengan “barang” telah terjadi di Negara Belanda dalam kurun waktu 1980 s.d. 1990an, dan perdebatan tersebut berakhir dengan keluarnya Yurisprudensi 1997, 574; Mahkamah Agung Belanda menyatakan bahwa data komputer tidak dapat dijadikan objek penyitaan karena data komputer bukanlah “barang (goed).” Menurut Koops, terminologi “barang” dalam hukum pidana memiliki karakteristik yang tidak bisa diubah yaitu bahwa hanya ada satu orang yang dapat mempunyai penguasaan atas suatu barang. Meskipun “barang” tidak harus sesuatu yang berwujud (tangible), tetapi penguasaannya harus berada pada satu orang. Selain itu menurut Koops, konsep barang tunduk pada hukum property (kebendaan), sedangkan data pada hukum intellectual property. Dalam kasus pencurian listrik, listrik merupakan barang tidak berwujud tetapi penguasaan listrik berada pada satu orang. Listrik berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dan perpindahan tersebut dapat dibuktikan dengan menyalanya lampu atau mesin, dan ketika listrik berpindah, energi tersebut tidak lagi berada pada tempatnya semula. Tidak demikian halnya dengan data; data dapat dikuasai oleh lebih dari satu orang sehingga penguasaan terhadap data menjadi tidak spesifik. Maksudnya, ketika seseorang ‘mengambil’ data komputer dari orang lain, keduanya masih dapat mengakses data yang sama. Data komputer yang dimaksud dapat tidak berpindah dari tempatnya semula, seperti halnya listrik.
Menyamakan kedua terminologi ini adalah salah satu hal yang sangat sulit untuk diterapkan – jika tidak dapat dikatakan mustahil. Oleh karena itu, dalam UU ITE digunakan terminologi “memindahkan” dan bukan “mencuri”.

Referensi

  1. Josua Sitompul (2012), Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw : Tinjauan Aspek Hukum Pidana.
  2. Putusan Hooge Raad tanggal 23 Mei 1921, N.J.1921, 564 pada kasus pencurian listrik di Gravenhage, Topo Santoso, Hukum Pidana, http://staff.ui.ac.id/internal/132108639/material/HUKUMPIDANA1.pdf.
  3. Eoghan Casey, Digital Evidence and Computer Crime: Forensic Science, Computers and the Internet, Third Edition, Elsevier, London, Inggris.
  4. Bert-Jaap Koops (2005), ‘Cybercrime Legislation in the Netherlands’, in: Pauline C. Reich (ed.), Cybercrime and Security, Vol. 2005/4, Dobbs Ferry, NY: Oceana Publications.

 

Ruang Lingkup Tindak Pidana Siber UU ITE

Penulis beberapa kali berdiskusi dengan mereka yang memiliki latar belakang teknis atau masyarakat awam mengenai cakupan tindak pidana siber dalam UU ITE. Menurut mereka, tindak pidana siber dalam UU ITE sulit untuk dimengerti sehingga butuh gambaran sederhana mengenai ruang lingkup cybercrimes dalam UU ITE.

Secara sederhana, materi UU ITE dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu mengenai transaksi elektronik dan perbuatan yang dilarang. Bagian perbuatan yang dilarang yang diatur dalam Bab VII dan Bab XI berisi pengaturan tindak pidana teknologi informasi dan transaksi elektronik (cybercrimes) yang dapat diklasifikasikan menjadi:

1. Tindak pidana yang berhubungan dengan aktivitas illegal, yaitu:

a. Distribusi atau penyebaran, transmisi, dapat diaksesnya konten ilegal, yang terdiri dari:
(1) kesusilaan (Pasal 27 ayat (1) UU ITE);
(2) perjudian (Pasal 27 ayat (2) UU ITE);
(3) penghinaan atau pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat (3) UU ITE);
(4) pemerasan atau pengancaman (Pasal 27 ayat (4) UU ITE);
(5) berita bohong yang menyesatkan dan merugikan konsumen (Pasal 28 ayat (1) UU ITE);
(6) menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA (Pasal 28 ayat (2) UU ITE);

b. Dengan cara apapun melakukan akses illegal (Pasal 30 UU ITE);

c. Intersepsi illegal terhadap informasi atau dokumen elektronik atau Sistem Elektronik (Pasal 31 UU ITE);

2. Tindak pidana yang berhubungan dengan gangguan (interferensi), yaitu:
a. Gangguan terhadap Informasi atau Dokumen Elektronik (data interference – Pasal 32 UU ITE);
b. Gangguan terhadap Sistem Elektronik (system interference – Pasal 33 UU ITE);

3. Tindak pidana memfasilitasi perbuatan yang dilarang (misuse of device – Pasal 34 UU ITE);

4. Tindak pidana pemalsuan informasi atau dokumen elektronik (computer related forgery – Pasal 35 UU ITE);

5. Tindak pidana accessoir (Pasal 36 UU ITE);

6. Perberatan-perberatan terhadap ancaman pidana (Pasal 52 UU ITE).

Mengapa Perlu Pengaturan Konten Ilegal dalam UU ITE?

Pertanyaan di atas merupakan pertanyaan lain yang sering ditanyakan dalam berbagai diskusi mengenai UU ITE. Beberapa komentator berpendapat bahwa pengaturan kontel ilegal dalam UU ITE dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman atau bahkan melanggar kebebasan berekspresi; lagipula dunia siber berbeda dengan dunia fisik; dunia siber tidak membutuhkan pengaturan semacam itu. Beberapa komentator lain berpedapat bahwa ketentuan konten ilegal dalam UU ITE tumpang tindih dengan KUHP. Penjelasan berikut mungkin dapat memberikan perepektif lain.

Pentingnya pengaturan konten ilegal dalam UU ITE didasarkan setidaknya pada dua hal. Pertama, perlunya perlindungan hukum seperti perlindungan yang diberikan dalam dunia nyata atau fisik (realspace). Dunia siber merupakan dunia virtual yang diciptakan melalui pengembangan teknologi informasi dan komunikasi. Kevirtualan dunia ini tidak menghilangkan fakta bahwa setidaknya sampai saat ini masyarakat yang ada dalam dunia siber adalah kumpulan orang-orang dari dunia fisik dan dampak dari berbagai jenis transaksi elektronik yang dilakukan dalam dunia siber dapat dirasakan langsung dan nyata dalam dunia fisik.
Pada dasarnya konten merupakan informasi yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Pornografi dan judi dapat menimbulkan kecanduan. Pembuatan informasi elektronik khususnya pornografi dapat atau bahkan sering melanggar hak asasi manusia. Selain itu, penyebaran konten dapat membentuk opini publik. Rusaknya kehormatan atau nama baik seseorang akibat opini publik yang terbentuk melalui penyerangan terhadap kehormatan atau nama baik orang tersebut merupakan alasan diaturnya ketentuan penghinaan dalam cyberspace. Kerusuhan antar suku, agama, ras, dan golongan (SARA) juga dapat terjadi akibat penyebarluasan informasi sensitif tentang SARA.

Kedua, dengan adanya internet, informasi dapat disebar dan diteruskan ke berbagai penjuru dunia dengan seketika serta dapat diakses dari berbagai negara. Terlebih lagi setiap orang dapat menggunakan nama lain selain nama diri yang sebenarnya di cyberspace baik secara anonim atau dengan nama alias. Informasi-informasi yang dikirimkan atau digandakan tersebut dapat tersimpan untuk jangka waktu yang sangat lama, jika tidak dapat dikatakan secara permanen. Teknologi mesin pencari (search engines) memudahkan banyak orang untuk mencari dan mendapatkan informasi yang mereka perlukan. Dengan Internet, konten-konten yang dilarang dapat disebarluaskan tanpa diketahui identitas aslinya. Bahkan dalam batas tertentu, mesin pencari ini dapat memberikan informasi pribadi, seperti identitas seseorang atau bahkan letak rumah seseorang. Dengan demikian internet dapat menjadi sarana untuk menyebarkan informasi yang menimbulkan dampak yang luas dan tidak terbatas. Hal ini tentunya dapat menimbulkan kerugian bagi korban, baik secara materil maupun imateril.

Yang termasuk dalam konten ilegal menurut undang-undang ini adalah Informasi dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan atau pencemaran nama baik, dan pemerasan dan/atau pengancaman sebagaimana termuat dalam Pasal 27 UU ITE. Dalam Pasal 28 UU ITE juga diatur mengenai ilegal konten, yaitu perbuatan menyebarkan berita bohong dan menyesatkan sehingga mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik, serta perbuatan menyebarkan kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA. Selain itu, dalam Pasal 29 UU ITE diatur konten ilegal mengenai pengiriman ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.

Perbuatan-perbuatan yang dikriminalisasi dalam Pasal 27 UU ITE adalah perbuatan-perbuatan yang pada dasarnya telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Demikian juga dengan perbuatan penyebaran muatan yang ditujukan menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Akan tetapi, karakteristik-karakteristik dunia siber seperti yang digambarkan di atas menyababkan pembentuk undang-undang merasa perlu penyesuaian agar nilai perlindungan yang diberikan dalam dunia siber seperti yang telah diberikan dalam dunia fisik. Sedangkan kedua konten yang lain (Pasal 28 ayat (1) UU ITE dan Pasal 29 UU ITE) memang tidak diatur dalam KUHP tetapi dipandang perlu untuk diatur dalam UU ITE. Pasal 28 ayat (1) UU ITE dimaksudkan untuk melindungi konsumen dalam transaksi elektronik sedangkan Pasal 29 UU ITE dimaksudkan untuk melindungi keamanan dan keselamatan pribadi seseorang.

Untuk ulasan lebih lanjut dapat dibaca dalam Sitompul, Josua. 2012. Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw : Tinjauan Aspek Hukum Pidana, Jakarta, Tatanusa.

Lagi : Salah Kaprah Pasal 27 ayat (3) UU ITE

Banyak pihak menganggap bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang mengatur mengenai penghinaan atau pencemaran nama baik secara online dapat ditujukan kepada satu kelompok masyarakat, suku, atau agama. Bahkan, ada juga orang yang merasa dirinya dihina atau nama baiknya dicemarkan hanya karena ada muatan penghinaan yang tidak mencantumkan identitasnya.

Dari segi historis penyusunan UU ITE, Pasal 27 UU ITE dibangun berdasarkan asas dan konstruksi yang telah berdiri dalam KUHP. Pasal 27 UU ITE tidak dapat berdiri sendiri tanpa ada pemahaman dari KUHP, sehingga dalam UU ITE tidak perlu dijelaskan konsep atau ruang lingkup kesusilaan, perjudian, pengancaman dan pemerasan, maupun penghinaan dan pencemaran nama baik. Itu juga berarti, Pasal 27 UU ITE tidak dapat berdiri sendiri tanpa ada KUHP.

Khusus Pasal 27 ayat (3) UU ITE, pada esensinya penghinaan atau pencemaran nama baik ialah menyerang kehormatan, nama baik, atau martabat seseorang.Unsur “muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengacu pada KUHP. Esensi penghinaan atau pencemaran nama baik dalam UU ITE dan KUHP ialah tindakan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan maksud untuk diketahui oleh umum. Oleh karena itu, perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya dalam pasal ini haruslah dimaksudkan untuk menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan maksud untuk diketahui oleh umum.

Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk melindungi Hak Asasi Manusia sebagaimana diatur dalam Konstitusi bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Oleh karena itu, Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dimungkinkan diterapkan terhadap organisasi atau institusi.

Orang tersebut haruslah pribadi kodrati (naturlijk persoon) dan bukan pribadi hukum (rechts persoon). Pribadi hukum tidak mungkin memiliki perasaan terhina atau nama baiknya tercemar mengingat pribadi hukum merupakan abstraksi hukum. Meskipun pribadi hukum direpresentasikan oleh pengurus atau wakilnya yang resmi, tetapi delik penghinaan hanya dapat ditujukan pada pribadi kodrati, sama seperti pembunuhan atau penganiayaan. (Sitompul, 2012)

Delik penghinaan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE bersifat subjektif. Maksudnya, perasaan telah terserangnya nama baik atau kehormatan seseorang ialah hak penuh dari korban. Korbanlah yang dapat menentukan bagian mana dari Informasi atau Dokumen Elektronik yang menyerang kehormatan atau nama baiknya. Akan tetapi, penilaian subjektif ini harus diimbangi dengan kriteria-kriteria yang lebih objektif.

Dalam mempermasalahkan konten yang diduga memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. (Sitompul, 2012)

  • Dalam konten yang dipermasalahkan harus ada kejelasan identitas orang yang dihina. Identitas tersebut harus mengacu kepada orang pribadi tertentu dan bukan kepada pribadi hukum, bukan pula ditujukan kepada orang secara umum, atau kepada sekelompok orang berdasarkan suku, agama, ras, atau golongan.
  • Identitas dapat berupa gambar (foto), username, riwayat hidup seseorang, atau informasi lain lain yang berhubungan dengan orang tertentu yang dimaksud.
  • Dalam hal identitas yang dipermasalahkan bukanlah identitas asli maka perlu ditentukan bahwa identitas tersebut memang mengacu pada korban, dan bukan pada orang lain.
  • Identitas tersebut – meskipun bukan identitas asli – diketahui oleh umum bahwa identitas tersebut mengacu pada orang yang dimaksud (korban) dan bukan orang lain.

Dalam hal pelaku tidak menuliskan identitas kepada siapa kalimat tersebut ditujukan, maka konten tersebut bukan merupakan penghinaan yang dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Apabila ada seseorang yang merasa bahwa kalimat tersebut ditujukan untuk dirinya maka – kecuali pelaku mengaku demikian – diperlukan usaha yang besar untuk mengaitkan antara konten serta tujuan penulisannya dan korban.

Kriteria yang lebih objektif untuk menilai hubungan antara muatan dari informasi atau dokumen elektronik yang dianggap menghina atau mencemarkan nama baik seseorang dan korban dapat dibangun berdasarkan konten dan konteks dari tiap-tiap kasus. Konten yang dipermasalahkan dapat dinilai dari sisi bahasa. Sedangkan konteks dapat dinilai dari sisi sosial maupun psikologi.

Lebih lanjut, secara pragmatis, dalam penerapan Pasal 27 ayat (3) UU ITE hanya korban yang dapat merasakan bagian mana dari suatu pernyataan yang menghina atau mencemarkan nama baiknya. Tidak ada seorangpun yang dapat mewakili korban yang dapat menyatakan sama seperti yang dirasakan oleh korban tanpa korban sendiri yang memberitahukan kepadanya secara langsung. Itulah sebabnya, secara pragmatis, pengurus atau wakil resmi dari institusi atau badan usaha tidak mungkin mengatakan mana dari pernyataan yang menghina atau mencemarkan nama baik instansi atau institusi – sebagai korban.

Kesimpulannya, menerapkan Pasal 27 ayat (3) UU ITE selain ditujukan terhadap manusia sebagaimana dimaksudkan pada pembentukannya sejak awal, merupakan suatu penyimpangan yang memiliki konsekuensi baik secara hukum maupun secara sosial dan kontraproduktif terhadap perlindungan hak asasi manusia yang lain, khususnya kebebasan mengemukakan pendapat (freedom of speech)

Sumber

Sitompul, Josua. 2012. Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw : Tinjauan Aspek Hukum Pidana, Jakarta : Tatanusa.

Pencemaran Nama Baik Badan Usaha Dijerat dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE?

Dalam banyak kesempatan Penulis sering ditanyakan apakah Pasal 27 ayat (3) UU ITE ditujukan hanya kepada pribadi kodrati (natuurlijk person), atau termasuk juga pribadi hukum (rechts persoon)? Beberapa pihak dari instansi atau lembaga serta perusahaan privat berpendapat bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE juga ditujukan untuk melindungi nama baik instansi atau perusahaan mereka, sehingga tulisan-tulisan di Internet yang menyerang nama baik perusahaan atau instansi termasuk dalam penghinaan atau pencemaran nama baik. Apakah pendapat ini tepat?

Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengatur bahwa Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Unsur “muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengacu pada KUHP, khususnya dalam BAB XVI tentang Penghinaan. Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP memberikan dasar pemahaman atau esensi mengenai penghinaan atau pencemaran nama baik, yaitu tindakan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan maksud untuk diketahui oleh umum. Oleh karena itu, perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya dalam pasal ini haruslah dimaksudkan untuk menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan maksud untuk diketahui oleh umum. Orang tersebut haruslah pribadi kodrati (naturlijk persoon) dan bukan pribadi hukum (rechts persoon). Pribadi hukum tidak mungkin memiliki perasaan terhina atau nama baiknya tercemar mengingat pribadi hukum merupakan abstraksi hukum. Meskipun pribadi hukum direpresentasikan oleh pengurus atau wakilnya yang resmi, tetapi delik penghinaan hanya dapat ditujukan pada pribadi kodrati, sama seperti pembunuhan atau penganiayaan. Tidak mungkin pribadi hukum dapat dibunuh atau dianiaya – secara harafiah.

Pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan implementasi dari perlindungan terhadap pribadi yang diatur dalam Konstitusi. Pasal 27 ayat (3) UU ITE pernah diuji ke-konstitusionalitas-an-nya. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap uji review pasal yang dimaksud Nomor 50/PUU-VI/2008 dan Nomor 2/PUU-VII/2009, MK menyatakan bahwa muatan pasal tersebut selaras dengan ketentuan UUD NRI 1945.

Apakah wakil resmi dari perusahaan atau instansi yang merasa nama baik instansi atau perusahaannya tercemar tidak memiliki upaya hukum? Bagi wakil resmi tersebut dapat mengajukan upaya hukum, misalnya dengan mengajukan gugatan. Akan tetapi Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak ditujukan untuk hal yang dimaksud.

Hal lain yang perlu ditekankan di sini ialah bahwa delik penghinaan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE bersifat subjektif – sama seperti dalam pasal 310 KUHP. Maksudnya, perasaan telah terserangnya nama baik atau kehormatan seseorang ialah hak penuh dari korban. Korbanlah yang dapat menentukan bagian mana dari Informasi atau Dokumen Elektronik yang menyerang kehormatan atau nama baiknya. Akan tetapi, penilaian subjektif ini harus diimbangi dengan kriteria-kriteria yang lebih objektif. Tanpa ada kriteria yang lebih objektif, maksud perlindungan hukum yang diberikan melalui Pasal  27 ayat (3) UU ITE dapat disalah gunakan. Kriteria-kriteria tersebut dapat dibangun berdasarkan kejelasan identitas orang yang dihina dan muatan dari informasi atau dokumen elektronik yang dianggap menghina atau mencemarkan nama baik seseorang.

Putusan MK 50/PUU-VI/2008

Putusan MK 2/PUU-VII/2009

Delik Penghinaan dan SARA dalam UU ITE: Apakah Laporan atau Aduan.

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, ketentuan penghinaan dan pencemaran nama baik diatur dalam Pasal 27 ayat (3), sedangkan ketentuan SARA diatur dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE.

Banyak pihak menganggap Pasal 27 ayat (3) merupakan delik biasa. Pemahaman ini keliru dari dua hal, yaitu dari segi esensi delik penghinaan dan dari sisi historis. Secara esensi penghinaan atau pencemaran nama baik merupakan perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang, sehingga nama baik orang tersebut tercemar atau rusak.Dalam menentukan adanya penghinaan atau pencemaran nama baik, konten dan konteks menjadi bagian yang sangat penting untuk dipahami. Tercemarnya atau rusaknya nama baik seseorang secara hakiki hanya dapat dinilai oleh orang yang bersangkutan. Dengan kata lain, korbanlah yang dapat menilai secara subjektif tentang konten atau bagian mana dari Informasi atau Dokumen Elektronik yang ia rasa telah menyerang kehormatan atau nama baiknya. Konstitusi memberikan perlindungan terhadap harkat dan martabat seseorang sebagai salah satu hak asasi manusia. Oleh karena itu, perlindungan hukum diberikan kepada korban, dan bukan kepada orang lain. Orang lain tidak dapat menilai sama seperti penilaian korban.

Sedangkan konteks berperan untuk memberikan nilai objektif terhadap konten. Pemahaman akan konteks mencakup gambaran mengenai suasana hati korban dan pelaku, maksud dan tujuan pelaku dalam mendiseminasi informasi, serta kepentingan-kepentingan yang ada di dalam pendiseminasian konten. Oleh karena itu, untuk memahami konteks, mungkin diperlukan pendapat ahli, seperti ahli bahasa, ahli psikologi, dan ahli komunikasi.

Kedua, secara historis ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengacu pada ketentuan penghinaan atau pencemaran nama baik yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP), khususnya Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Dalam KUHP diatur dengan tegas bahwa penghinaan merupakan delik aduan. Tidak adanya ketentuan yang tegas bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan delik aduan kerap dipermasalahkan dalam menerapkan ketentuan ini. Akan tetapi dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 mengenai konstitusionalitas Pasal 27 ayat (3) UU ITE telah ada penegasan bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan delik aduan. Dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi Butir [3.17.1] dijelaskan

Bahwa terlepas dari pertimbangan Mahkamah yang telah diuraikan dalam paragraf terdahulu, keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sebagai genus delict yang mensyaratkan adanya pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut, harus juga diperlakukan terhadap perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, sehingga Pasal a quo juga harus ditafsirkan sebagai delik yang mensyaratkan pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut di depan Pengadilan.

Pasal 28 ayat (2) UU ITE juga sudah pernah diuji konstitusionalitasnya terhadap UUD NRI 1945 dalam perkara Nomor 52 PUU-XI/2013. Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa Pasal 28 ayat (2) UU ITE tidak bertentangan dengan Konstitusi. Putusan MK yang dimaksud tidak memberikan penjelasan mengenai apakah ketentuan ini merupakan delik laporan atau delik aduan, sehingga hal ini masih terbuka untuk didiskusikan.

Dasar hukum:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
  2. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
  3. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008;
  4. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52 PUU-XI/2013;

Referensi:

Sitompul, Josua, 2012. Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw : Tinjauan Aspek Hukum Pidana, Jakarta : Tatanusa;

———-, Hukumonline : Legalitas Hasil Cetak Tweet Sebagai Alat Bukti Penghinaan

———-, Hukumonline : Pasal untuk Menjerat Penyebar Kebencian SARA di Jejaring Sosial

Software Gratisan dalam Industri Karaoke

Diskusi hukum kali ini dimulai dengan pertanyaan : apakah diperbolehkan menggunakan software gratisan untuk bisnis Karaoke?

Penyelenggara karaoke yang menggunakan serangkaian perangkat lunak (software) dan perangkat keras (hardware) dalam menjalankan bisnisnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik dapat disebut juga sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (“PSE”).

Dari segi hukum, UU ITE beserta PP PSTE menekankan secara prinsip bahwa Penyelenggara Sistem Elektronik harus menyelenggarakan Sistem Elektronik secara andal dan aman serta bertanggung jawab terhadap beroperasinya Sistem Elektronik sebagaimana mestinya. Dengan demikian, Penyelenggara Sistem Elektronik bertanggung jawab terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektroniknya baik dari sisi hukum maupun teknis.

Sistem Elektronik menurut UU ITE adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik. Yang dimaksud dengan perangkat ialah baik perangkat keras maupun perangkat lunak. Oleh karena itu, software yang digunakan termasuk dalam bagian Sistem Elektronik yang harus terjaga keandalan, keamanan, dan kebertanggungjawabannya. Demikian juga dengan aplikasi (software) untuk karaoke yang dimaksud.

Yang dimaksud dengan andal ialah bahwa Sistem Elektronik (termasuk perangkat lunak yang digunakan) memiliki kemampuan dan fungsi sesuai dengan kebutuhan penggunaan. Selain itu, Sistem Elektronik harus beroperasi sebagaimana mestinya, yaitu memiliki kemampuan sesuai dengan spesifikasi. Sedangkan aman maksudnya Sistem Elektronik terlindungi secara fisik dan nonfisik (integritas dan ketersediaannya). Sedangkan bertanggung jawab artinya ada pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum terhadap beroperasinya Sistem Elektronik.

Software dalam sistem karaoke bisa mencakup mulai dari front office sampai kepada back office, seperti pendataan pengunjung, server yang berisi lagu-lagu, dan sistem billing. Pada prinsipnya, setiap orang dapat menggunakan perangkat lunak karaoke yang berbayar maupun yang gratis (free) dengan mengunduhnya melalui internet.

Akan tetapi, dari sisi bisnis, ada banyak hal yang perlu menjadi pertimbangan. Misalnya, perlu dilihat juga apakah Cafe yang dimaksud adalah Cafe yang akan menggunakan brand tertentu atau dengan mekanisme franchise? Jika mengunakan sistem franchise, maka pemilik franchise dapat saja mengharuskan pemilik Cafe menggunakan software miliknya. Tujuannya selain dari keuntungan lisensi, juga untuk memastikan agar kualitas sistem karaoke pada Cafe tersebut sesuai dengan standar pemilik franchise.

Tentu, pemilik Cafe tidak mengharapkan para pelanggan komplain ketika mereka bernyanyi tiba-tiba karaoke berhenti karena software tidak berfungsi sebagaimana mestinya (hang atau error). Hal ini tentunya tidak baik bagi prospek bisnis Cafe tersebut. Ketika hal ini terjadi, siapakah yang bertanggung jawab terhadap berhentinya sistem karaoke yang disebabkan oleh perangkat lunak tersebut?

Jika Cafe menggunakan aplikasi gratis (free) yang diunduh lewat internet maka Cafe tidak dapat menarik pihak ketiga untuk bertanggung jawab terhadap malfungsi sitem tersebut. Sebaliknya jika Cafe menggunakan aplikasi berbayar dari pemilik franchise maka Cafe dapat menarik pemilik franchise turut terlibat dalam tanggung jawab terhadap malfungsi yang dimaksud. Hal ini tentu perlu ada dalam perjanjian antara Cafe dan pemilik franchise.

Selain itu, dari sisi kenyamanan, pelanggan tentu akan memilih tempat karaoke dengan aplikasi yang lebih user friendly atau dapat dengan mudah digunakan. Terlepas apakah aplikasi tersebut berbayar ataukah gratis (free) sebegaimana banyak tersebar di internet.

Jadi, silahkan menggunakan software gratisan dengan menanggung risikonya.

Referensi

Sitompul, Josua. 2012. Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw : Tinjauan Aspek Hukum Pidana, Jakarta : Tatanusa.