Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) pada dasarnya memuat dua bagian besar pengaturan:
1. Pengaturan mengenai sistem dan transaksi elektronik;
2. Pengaturan mengenai tindak pidana siber yang mencakup hukum materil dan hukum formil.
Pengaturan tindak pidana siber dalam konteks hukum materil mengacu pada Council of Europe Convention on Cybercrime, 2001.
Pasal 31 UU ITE mengatur mengenai intersepsi ilegal, sebagai berikut.
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan.
(3) Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.
Penjelasan Pasal 31 UU ITE mengatur bahwa: Yang dimaksud dengan “intersepsi atau penyadapan” adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi.
Yang diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU ITE ialah intersepsi ilegal yang dilakukan dalam suatu Sistem Elektronik. Sedangkan dalam ayat (2) penekanannya ialah terhadap intersepsi ketika komunikasi sedang berada dalam proses transmisi. Akan tetapi keduanya menekankan bahwa intersepsi tersebut dilakukan atas Informasi atau Dokumen Elektronik. Oleh karena itu yang menjadi menarik ialah apakah realita yang sedang direkam tersebut merupakan Informasi Elektronik?
Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya (Pasal 1 angka 1 UU ITE). Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya (Pasal 1 angka 4 UU ITE).
Perbedaan mendasar antara Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik ialah bahwa yang pertama merupakan data sedangkan yang kedua merupakan wadah dari data tersebut. Misalnya, dalam file dalam format .doc maka seluruh data mengenai file tersebut merupakan Informasi Elektronik sedangkan .doc merupakan wadah dari informasi tersebut. Demikian juga dengan file dalam bentuk .mp3, .txt, .html.
Berdasarkan definisi yang diatur dalam UU ITE maka realita berupa suara atau kejadian yang direkam dalam satu tape recorder atau kamera bukanlah data elektroik, bukan Informasi Elektronik dan bukan Dokumen Elektronik. Kamera atau tape recorder tersebut merekam kejadian atau suara dengan mengubahnya menjadi Informasi dan Dokumen Elektronik. Dengan perkataan lain suara yang diucapkan pada waktu kejadian masih belum termasuk dalam Informasi atau Dokumen Elektronik. Oleh karena itu, perekaman terhadap kejadian nyata secara langsung dengan menggunakan kamera yang dimaksud bukanlah termasuk dalam pelanggaran Pasal 31 UU ITE.
Selanjutnya, perlu diperhatikan bahwa dalam sistem hukum di Indonesia belum terdapat pengaturan yang tegas apakah perekaman suara atau kejadian tersebut harus dilakukan berdasarkan persetujuan kedua belah pihak atau cukup salah satu pihak saja. Sebagai contoh, apakah ketika seseorang menaruh kamera tersembunyi dalam baju atau berbentuk bros untuk merekam suara atau kejadian termasuk perekaman yang sah atau tidak? Oleh karena itu, terkait masalah hal ini dapat diambil kesimpulan bahwa adanya persetujuan dari salah satu pihak sudah cukup menjadi dasar untuk melakukan perekaman yang dimaksud.
Referensi:
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
- Sitompul, Josua. 2012. Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw: Tinjauan Aspek Hukum Pidana. Jakarta : Tatanusa.
Tulisan ini sudah dipublikasi di HukumOnline http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5496be4d1947b/bolehkah-merekam-suatu-peristiwa-secara-sembunyi-sembunyi