Sebagai bahan diskusi. Seorang Warga Negara Indonesia (“WNI”) menggunakan identitas palsu (yaitu foto dan identitas seorang Warga Negara Asing (“WNA”) yang tinggal di luar negeri tanpa izin) dan ia melakukan chatting dengan seorang Warga Negara Brunei karena WNI tersebut ingin mendapatkan informasi tertentu darinya. Setelah beberapa lama berkomunikasi, WNI yang dimaksud mengungkapkan identitas yang sebenarnya pada Warga Brunei tersebut.
Pertanyaan-pertanyaannya ialah:
- Apakah WNI yang menggunakan identitas termasuk foto WNA tersebut dapat dituntut?
- Dan dengan hukum Negara mana WNI tersebut dapat dituntut?
- Serta bagaimana prosedurnya?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut, dalam pembahasan ini, hanya difokuskan pada ketentuan dan prinsip hukum pidana, khususnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”). Mengingat yang dibahas merupakan isu yang problematik, diskusi ini akan mensimplifikasi permasalahan dan bersifat provisional sehingga ada aspek-aspek lain yang tidak dapat dibahas.
Salah satu karakteristik penanganan cyber crime adalah kemungkinan tumpang tindih dalam jurisdiksi. Hal ini disebabkan pada sifat dari Informasi Elektronik yang dapat ditransmisikan dari mana saja dan dapat menimbulkan akibat di berbagai tempat, baik di dalam maupun di luar wilayah suatu negara.
Prinsip Keberlakuan Hukum Pidana Indonesia
Prinsip-prinsip keberlakuan hukum pidana Indonesia diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) dan prinsip-prinsip tersebut didasarkan pada asas-asas yang berlaku secara internasional, antara lain asas teritorialitas, asas nasionalitas aktif, dan asas nasionalitas pasif.
Berdasarkan asas teritorial, hukum pidana Indonesia berlaku bagi setiap orang, baik WNI maupun WNA yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah Indonesia, baik wilayah darat maupun laut. Prinsip ini disebut prinsip teritorial. Ruang lingkup teritorial ini diperluas dengan mempersamakan kendaraan air dan pesawat udara yang menggunakan bendera suatu negara sebagai bagian dari wilayah negara itu. Dalam KUHP, asas teritorial diatur dalam Pasal 2 KUHP[1], sedangkan perluasan dari asas ini diatur dalam Pasal 3 KUHP[2].
Tidak hanya itu saja, dalam Pasal 4 KUHP dan Pasal 5 KUHP juga terdapat asas-asas keberlakukan pidana. Pasal 4 KUHP memuat asas nasionalitas pasif. Maksudnya, hukum pidana Indonesia berlaku bagi setiap orang – baik WNI maupun WNA– yang melakukan tindak pidana di luar wilayah Indonesia sepanjang perbuatan itu melanggar kepentingan Indonesia. Sedangkan Pasal 5 KUHP mengandung asas nasionalitas aktif, yaitu hukum pidana Indonesia berlaku terhadap WNI di manapun ia berada.
Dalam perkembangan penerapannya, asas-asas tersebut memiliki keterbatasan dalam menjerat seseorang yang melakukan tindak pidana siber khususnya di luar wilayah suatu negara. Oleh karena itu, banyak negara menambahkan asas ekstrateritorial. Pasal 2 UU ITE menegaskan bahwa:
“Ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan perbuatan hukum yang diatur dalam UU ITE, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.”
Manipulasi Informasi dan Dokumen Elektronik
Pasal 35 UU ITE mengatur:
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik.”
Tujuan pengaturan Pasal 35 UU ITE ialah menjaga dapat dipercayanya informasi atau dokumen elektronik (reliability) khususnya dalam transaksi elektronik. Keotentikan mengindikasikan bahwa informasi atau dokumen elektronik dapat dipercaya (reliable). Setidaknya ada dua hal yang harus diperhatikan dalam menentukan keotentikan suatu informasi atau dokumen elektronik, yaitu sumber dan konten. Suatu informasi atau dokumen elektronik dikategorikan otentik apabila: (1) sumbernya berasal dari orang atau pihak yang memiliki hak atau kewenangan untuk mengeluarkan informasi/dokumen elektronik yang dimaksud; dan (2) kontennya adalah konten yang dimaksudkan oleh sumber (Sitompul, 2012).
Dalam Pasal 35 UU ITE, otentiktidak hanya dimaksudkan pada data yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan, tetapi juga mencakup data milik perusahaan[3] atau pribadi yang dibuat oleh mereka. Sedangkan yang dimaksud konten yang otentik ialah bahwa informasi atau data yang terdapat dalam Informasi atau Dokumen Elektronik ialah muatan yang dibuat, dikeluarkan, dipublikasikan, dikirimkan oleh sumber yang dimaksud (Sitompul, 2012).
Pasal 35 UU ITE diatur secara alternatif, maksudnya cukup dibuktikan bahwa pelaku melakukan salah satu dari perbuatan yang dimaksud. Melalui perbuatan-perbuatan ini maka muncullah hak yang tidak sah bagi dirinya atau orang lain. Penggunaan hak yang dimaksud tentunya menjadi tidak sah.
Secara umum, yang dimaksud dengan manipulasi ialah upaya dengan kepandaian atau alat perangkat untuk mempengaruhi orang lain untuk mencapai suatu tujuan yang merugikan orang lain, termasuk di dalamnya berbuat curang atau melakukan penipuan.[4]
Penerapan Kasus
Berdasarkan penjelasan singkat di atas, Perbuatan WNI menggunakan identitas WNA dan fotonya dengan tujuan seolah-olah ia adalah WNA tersebut dan setiap informasi yang ia sampaikan melalui identitas palsu itu berasal dari WNA yang dimaksud merupakan salah satu bentuk perbuatan yang dilarang berdasarkan Pasal 35 UU ITE.
Dengan demikian, yang menjadi korban bukan hanya warga negara Brunei Darussalam tetapi juga WNA yang identitasnya digunakan tanpa hak oleh WNI tersebut. Selanjutnya, secara normatif, WNI tersebut dapat diproses sebagai palaku berdasarkan Pasal 2 jo. Pasal 35 UU ITE.
Ia juga dapat diproses berdasarkan UU Pidana Negara Brunei karena warga Negara Brunei adalah korban. Tidak hanya itu saja, sekiranya perbuatan WNI diketahui oleh pemilik identitas dan foto tersebut maka ia juga dapat memproses WNI tersebut karena menggunakan identitasnya tanpa izin. Secara normatif, mereka dapat memprosesnya di Indonesia maupun di negara masing̶masing. Akan tetapi, proses hukum tersebut jauh lebih kompleks karena terkait dengan, antara lain, isu perbedaan yurisdiksi, isu tempus dan locus delicti, keberadaan bukti̶bukti, isu mutual legal assistance, dan biaya memproses perkara.
Dasar Hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
[1] Pasal 2 KUHP: aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di dalam Indonesia.
[2] Pasal 3 KUHP: ketentuan pidana perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia.
[3]Dalam hal ini misalnya seseorang membuat website dengan menggunakan logo, tulisan, format tampilan seolah-olah website tersebut adalah milik Perusahaan PT. XYZ. Kemudian ia membuat pengumuman perekrutan pegawai seolah-olah pengumuman tersebut dikeluarkan oleh PT. XYZ. Tujuannya ialah mengambil data pribadi calon pelamar dalam curriculum vitae-nya yang dapat dia gunakan untuk tindak pidana lainnya.
[4] Disarikan dari definisi “manipulasi” berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan, http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php diakses pada tanggal 15 September 2011.
Tulisan ini sudah dipublikasi di Hukum Online http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt52d3d3f15c110/hukuman-bagi-kejahatan-siber-wni-yang-menggunakan-identitas-wna