Mendamaikan Kontroversi Pasal 27 ayat (3) UU ITE Kasus Flo!

Dari berbagai media yang penulis baca, diberitakan bahwa Flo dapat dijerat dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE karena telah menyebarkan informasi melalui akun sosial media Path yang dianggap menghina warga Joga. Penerapan pasal ini dalam kasus Flo jelas salah kaprah.

Dalam berbagai tulisan dan kesempatan, Penulis berusaha mengangkat maksud dan tujuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang mengatur mengatur larangan distribusi, transmisi, membuat dapat diaksesnya Informasi dan Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik ditujukan untuk melindungi martabat atau nama baik orang (naturlijk persoon) tertentu. Artinya, orang tersebut harus spesifik atau jelas identitasnya. Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak ditujukan kepada grup atau kelompok orang sebagaimana dimaksud dalam kasus Flo. Pasal ini juga tidak ditujukan kepada institusi, perusahaan, lembaga, kementerian, atau entitas hukum lain (rechts persoon) karena pada dasarnya, ketentuan tentang penghinaan dan pencemaran nama baik ini dimaksudkan untuk melindungi hak asasi manusia. Entitas hukum bukan manusia maka entitas hukum tidak memiliki hak asasi.

Mengapa perlu ada larangan distribusi atau transmisi suatu jenis konten? Mengapa perlu ada larangan mengenai penghinaan baik secara online maupun offline?

Telah ada begitu banyak pro dan kontra mengenai pengaturan Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Sebagian pihak menilai bahwa pasal ini melanggar kebebasan berekspresi dan melanggar hak asasi manusia dalam mengemukakan pendapat. Sebagian lain menilai bahwa ketentuan tersebut dibuat untuk melindungi hak asasi manusia. Dalam hal ini, perlindungan hak asasi manusia harus ditujukan kepada dua arah, yaitu kepada pembuat konten sebagai wujud dari kebebasan berekspresi dan megemukakan pendapat, dan juga kepada penerima konten sebagai pihak yang dijadikan sasaran yang harus dilindungi harkat dan martabatnya. Perlindungan kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat dan perlindungan terhadap harkat dan martabat seseorang merupakan hak asasi yang dilindungi oleh Konstitusi.

Pada dasarnya, kalimat adalah rangkaian kata yang diolah berdasarkan ide atau gagasan seseorang yang memiliki maksud tertentu. Jika kita setuju dengan pernyataan yang bijak bahwa pena (kata) bisa lebih tajam daripada pedang dan jika kita setuju bahwa pedang dapat digunakan untuk melakukan perbuatan baik atau perbuatan buruk maka kita juga seharusnya setuju bahwa kata-kata dapat digunakan untuk membangun atau merusak harkat dan martabat seseorang, bahkan hidupnya.

Bukankah dari satu mulut bisa keluar berkat dan kutuk? Tidakkah kita melihat kebenaran pribahasa tua yang mengatakan mulut orang yang lancang seperti tikaman pedang, tetapi lidah orang bijak mendatangkan kesembuhan?

Perlindungan terhadap kedua hak asasi tersebut dimaksudkan untuk meciptakan keseimbangan sehingga Pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan bentuk checks and balance bagi kedua pihak. Pembuat konten bebas berekspresi dan mengemukakan pendapat sepanjang tidak melanggar harkat dan martabat orang lain. Ketika ada seseorang yang merasa harkat dan martabatnya atau nama baiknya dilanggar, Pasal 27 ayat (3) UU ITE memberikan mekanisme bagi orang tersebut untuk menegakkan hak asasinya.

Pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan delik aduan, sebagiamana telah dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi. Apa implikasi dari delik aduan? Bahwa laporan adanya penghinaan atau pencemaran nama baik dapat dicabut. Artinya hukum membuka ruang bagi para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan masalahnya baik antar mereka maupun dengan bantuan pihak ketiga.

Jika menerima laporan mengenai dugaan tindak pidana pencemaran nama baik atau penghinaan berdasarkan UU ITE maupun KUHP, sangat bijak apabila Penyidik mengambil langkah untuk memediasi pelaku dan korban. Di lain pihak, tidak bijak apabila Penyidik serta merta menahan pelaku dalam menerapkan Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Bukankah budaya Indonesia menjunjung tinggi adanya keharmonisan antar warga? Jika Penyidik mengambil peran sebagai mediator untuk menyelesaikan masalah dengan mendorong pelaku untuk meminta maaf dan mendorong  korban untuk membukakan pintu maaf, dan keduanya bisa saling menerima sehingga korban mencabut laporannya, tidakkah Penyidik dapat menyelesaikan masalah lebih cepat tanpa harus melalui berbagai prosedur yang panjang?

Saya kira akan menjadi satu terobosan hukum yang berdampak positif secara signifikan apabila ada ketentuan internal di instansi Penyidik yang mengharuskan Penyidik untuk melakukan mediasi antara pelapor dan terlapor sebelum dilakukan proses hukum lebih jauh.

Saya melihat dan memuji kearifan Keraton Jogjakarta yang mengambil peran dalam melakukan mediasi antara Flo dan Warga Jogjakarta. Keraton memahami perasaan warga Jogjakarta yang terluka akibat tulisan Flo di media sosial. Akan tetapi, alih-alih turut mengambil bagian dalam permasalahan tersebut, Keraton memilih untuk memfasilitasi upaya perdamaian antara Flo dan warga Jogjakarta.

Leave a Reply