Legalitas Intrusive Adversiting

Pasar Virtual

Ruang siber merupakan pasar virtual yang dapat mempertemukan pembeli dan penjual yang berasal dari ruang fisik. Satu sisi, besarnya volume informasi dalam internet dapat memberikan keuntungan bagi pembeli. Salah satunya ialah bertambahnya informasi mengenai pilihan produk. Akan tetapi, banyaknya pilihan tidak selalu memudahkan pembeli dapat menemukan penjual dan produk yang tepat baginya. Di lain pihak, para penjual atau pelaku usaha memahami bahwa tingginya volume informasi dalam ruang siber membuat kompetisi semakin tinggi. Oleh karena itu, telah menjadi kepentingan pelaku usaha online agar produk mereka dapat muncul dalam kesempatan pertama dari pencarian yang dilakukan oleh pembeli. Salah satu hal yang dapat dilakukan oleh penjual ialah mereka mengiklankan produk dalam berbagai website yang potensial atau memunculkan produk mereka dalam Sistem Elektronik untuk beberapa saat.

Intrusive Advertising

Dalam pembahasan ini, yang dimaksud dengan iklan (advertising) secara sederhana ialah bentuk komunikasi persuasif yang dimaksudkan untuk mendorong konsumen untuk membeli suatu produk. Kapankah satu iklan (advertising) disebut mengganggu (intrusive)? Continue reading →

Distribusi Konten Pornografi

Seorang Pria dan Wanita bekernalan melalui Facebook dan melakukan kopi darat. Setelah beberapa kali bertemu, mereka merasa saling cocok dan akhirnya berpacaran. Seiring berjalannya waktu, merekamelakukan hubungan badan. Pria mengambil gambar atau merekam hubungan seksualnya dengan Wanita, dengan dalih untuk dinikmati sendiri.

Kemudian, dalam hubungan mereka, pertengkaran demi pertengkaran terjadi. Wanita kemudian memutuskan hubungan mereka. Karena tidak terima, Pria mengunduh foto dan rekaman video hubungan seksual mereka.

Bagaimana pertanggung jawaban hukum Pria dan Wanita yang dimaksud? Apakah Wanita dapat dimintai pertanggung jawaban hukum karena terlibat dalam pembuatan foto atau video Pornografi? Continue reading →

Mendamaikan Kontroversi Pasal 27 ayat (3) UU ITE Kasus Flo!

Dari berbagai media yang penulis baca, diberitakan bahwa Flo dapat dijerat dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE karena telah menyebarkan informasi melalui akun sosial media Path yang dianggap menghina warga Joga. Penerapan pasal ini dalam kasus Flo jelas salah kaprah.

Dalam berbagai tulisan dan kesempatan, Penulis berusaha mengangkat maksud dan tujuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang mengatur mengatur larangan distribusi, transmisi, membuat dapat diaksesnya Informasi dan Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik ditujukan untuk melindungi martabat atau nama baik orang (naturlijk persoon) tertentu. Artinya, orang tersebut harus spesifik atau jelas identitasnya. Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak ditujukan kepada grup atau kelompok orang sebagaimana dimaksud dalam kasus Flo. Pasal ini juga tidak ditujukan kepada institusi, perusahaan, lembaga, kementerian, atau entitas hukum lain (rechts persoon) karena pada dasarnya, ketentuan tentang penghinaan dan pencemaran nama baik ini dimaksudkan untuk melindungi hak asasi manusia. Entitas hukum bukan manusia maka entitas hukum tidak memiliki hak asasi.

Mengapa perlu ada larangan distribusi atau transmisi suatu jenis konten? Mengapa perlu ada larangan mengenai penghinaan baik secara online maupun offline? Continue reading →

Mengapa Perlu Pengaturan Konten Ilegal dalam UU ITE?

Pertanyaan di atas merupakan pertanyaan lain yang sering ditanyakan dalam berbagai diskusi mengenai UU ITE. Beberapa komentator berpendapat bahwa pengaturan kontel ilegal dalam UU ITE dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman atau bahkan melanggar kebebasan berekspresi; lagipula dunia siber berbeda dengan dunia fisik; dunia siber tidak membutuhkan pengaturan semacam itu. Beberapa komentator lain berpedapat bahwa ketentuan konten ilegal dalam UU ITE tumpang tindih dengan KUHP. Penjelasan berikut mungkin dapat memberikan perepektif lain. Continue reading →

Ruang Lingkup Tindak Pidana Siber UU ITE

Penulis beberapa kali berdiskusi dengan mereka yang memiliki latar belakang teknis atau masyarakat awam mengenai cakupan tindak pidana siber dalam UU ITE. Menurut mereka, tindak pidana siber dalam UU ITE sulit untuk dimengerti sehingga butuh gambaran sederhana mengenai ruang lingkup cybercrimes dalam UU ITE.

Secara sederhana, materi UU ITE dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu mengenai transaksi elektronik dan perbuatan yang dilarang. Bagian perbuatan yang dilarang yang diatur dalam Bab VII dan Bab XI berisi pengaturan tindak pidana teknologi informasi dan transaksi elektronik (cybercrimes) yang dapat diklasifikasikan menjadi:

1. Tindak pidana yang berhubungan dengan aktivitas illegal, yaitu:

a. Distribusi atau penyebaran, transmisi, dapat diaksesnya konten ilegal, yang terdiri dari:
(1) kesusilaan (Pasal 27 ayat (1) UU ITE);
(2) perjudian (Pasal 27 ayat (2) UU ITE);
(3) penghinaan atau pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat (3) UU ITE);
(4) pemerasan atau pengancaman (Pasal 27 ayat (4) UU ITE);
(5) berita bohong yang menyesatkan dan merugikan konsumen (Pasal 28 ayat (1) UU ITE);
(6) menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA (Pasal 28 ayat (2) UU ITE);

b. Dengan cara apapun melakukan akses illegal (Pasal 30 UU ITE);

c. Intersepsi illegal terhadap informasi atau dokumen elektronik atau Sistem Elektronik (Pasal 31 UU ITE);

2. Tindak pidana yang berhubungan dengan gangguan (interferensi), yaitu:
a. Gangguan terhadap Informasi atau Dokumen Elektronik (data interference – Pasal 32 UU ITE);
b. Gangguan terhadap Sistem Elektronik (system interference – Pasal 33 UU ITE);

3. Tindak pidana memfasilitasi perbuatan yang dilarang (misuse of device – Pasal 34 UU ITE);

4. Tindak pidana pemalsuan informasi atau dokumen elektronik (computer related forgery – Pasal 35 UU ITE);

5. Tindak pidana accessoir (Pasal 36 UU ITE);

6. Perberatan-perberatan terhadap ancaman pidana (Pasal 52 UU ITE).

Mengapa Perlu Pengaturan Konten Ilegal dalam UU ITE?

Pertanyaan di atas merupakan pertanyaan lain yang sering ditanyakan dalam berbagai diskusi mengenai UU ITE. Beberapa komentator berpendapat bahwa pengaturan kontel ilegal dalam UU ITE dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman atau bahkan melanggar kebebasan berekspresi; lagipula dunia siber berbeda dengan dunia fisik; dunia siber tidak membutuhkan pengaturan semacam itu. Beberapa komentator lain berpedapat bahwa ketentuan konten ilegal dalam UU ITE tumpang tindih dengan KUHP. Penjelasan berikut mungkin dapat memberikan perepektif lain.

Pentingnya pengaturan konten ilegal dalam UU ITE didasarkan setidaknya pada dua hal. Pertama, perlunya perlindungan hukum seperti perlindungan yang diberikan dalam dunia nyata atau fisik (realspace). Dunia siber merupakan dunia virtual yang diciptakan melalui pengembangan teknologi informasi dan komunikasi. Kevirtualan dunia ini tidak menghilangkan fakta bahwa setidaknya sampai saat ini masyarakat yang ada dalam dunia siber adalah kumpulan orang-orang dari dunia fisik dan dampak dari berbagai jenis transaksi elektronik yang dilakukan dalam dunia siber dapat dirasakan langsung dan nyata dalam dunia fisik.
Pada dasarnya konten merupakan informasi yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Pornografi dan judi dapat menimbulkan kecanduan. Pembuatan informasi elektronik khususnya pornografi dapat atau bahkan sering melanggar hak asasi manusia. Selain itu, penyebaran konten dapat membentuk opini publik. Rusaknya kehormatan atau nama baik seseorang akibat opini publik yang terbentuk melalui penyerangan terhadap kehormatan atau nama baik orang tersebut merupakan alasan diaturnya ketentuan penghinaan dalam cyberspace. Kerusuhan antar suku, agama, ras, dan golongan (SARA) juga dapat terjadi akibat penyebarluasan informasi sensitif tentang SARA.

Kedua, dengan adanya internet, informasi dapat disebar dan diteruskan ke berbagai penjuru dunia dengan seketika serta dapat diakses dari berbagai negara. Terlebih lagi setiap orang dapat menggunakan nama lain selain nama diri yang sebenarnya di cyberspace baik secara anonim atau dengan nama alias. Informasi-informasi yang dikirimkan atau digandakan tersebut dapat tersimpan untuk jangka waktu yang sangat lama, jika tidak dapat dikatakan secara permanen. Teknologi mesin pencari (search engines) memudahkan banyak orang untuk mencari dan mendapatkan informasi yang mereka perlukan. Dengan Internet, konten-konten yang dilarang dapat disebarluaskan tanpa diketahui identitas aslinya. Bahkan dalam batas tertentu, mesin pencari ini dapat memberikan informasi pribadi, seperti identitas seseorang atau bahkan letak rumah seseorang. Dengan demikian internet dapat menjadi sarana untuk menyebarkan informasi yang menimbulkan dampak yang luas dan tidak terbatas. Hal ini tentunya dapat menimbulkan kerugian bagi korban, baik secara materil maupun imateril.

Yang termasuk dalam konten ilegal menurut undang-undang ini adalah Informasi dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan atau pencemaran nama baik, dan pemerasan dan/atau pengancaman sebagaimana termuat dalam Pasal 27 UU ITE. Dalam Pasal 28 UU ITE juga diatur mengenai ilegal konten, yaitu perbuatan menyebarkan berita bohong dan menyesatkan sehingga mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik, serta perbuatan menyebarkan kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA. Selain itu, dalam Pasal 29 UU ITE diatur konten ilegal mengenai pengiriman ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.

Perbuatan-perbuatan yang dikriminalisasi dalam Pasal 27 UU ITE adalah perbuatan-perbuatan yang pada dasarnya telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Demikian juga dengan perbuatan penyebaran muatan yang ditujukan menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Akan tetapi, karakteristik-karakteristik dunia siber seperti yang digambarkan di atas menyababkan pembentuk undang-undang merasa perlu penyesuaian agar nilai perlindungan yang diberikan dalam dunia siber seperti yang telah diberikan dalam dunia fisik. Sedangkan kedua konten yang lain (Pasal 28 ayat (1) UU ITE dan Pasal 29 UU ITE) memang tidak diatur dalam KUHP tetapi dipandang perlu untuk diatur dalam UU ITE. Pasal 28 ayat (1) UU ITE dimaksudkan untuk melindungi konsumen dalam transaksi elektronik sedangkan Pasal 29 UU ITE dimaksudkan untuk melindungi keamanan dan keselamatan pribadi seseorang.

Untuk ulasan lebih lanjut dapat dibaca dalam Sitompul, Josua. 2012. Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw : Tinjauan Aspek Hukum Pidana, Jakarta, Tatanusa.

Lagi : Salah Kaprah Pasal 27 ayat (3) UU ITE

Banyak pihak menganggap bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang mengatur mengenai penghinaan atau pencemaran nama baik secara online dapat ditujukan kepada satu kelompok masyarakat, suku, atau agama. Bahkan, ada juga orang yang merasa dirinya dihina atau nama baiknya dicemarkan hanya karena ada muatan penghinaan yang tidak mencantumkan identitasnya.

Dari segi historis penyusunan UU ITE, Pasal 27 UU ITE dibangun berdasarkan asas dan konstruksi yang telah berdiri dalam KUHP. Pasal 27 UU ITE tidak dapat berdiri sendiri tanpa ada pemahaman dari KUHP, sehingga dalam UU ITE tidak perlu dijelaskan konsep atau ruang lingkup kesusilaan, perjudian, pengancaman dan pemerasan, maupun penghinaan dan pencemaran nama baik. Itu juga berarti, Pasal 27 UU ITE tidak dapat berdiri sendiri tanpa ada KUHP.

Khusus Pasal 27 ayat (3) UU ITE, pada esensinya penghinaan atau pencemaran nama baik ialah menyerang kehormatan, nama baik, atau martabat seseorang.Unsur “muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengacu pada KUHP. Esensi penghinaan atau pencemaran nama baik dalam UU ITE dan KUHP ialah tindakan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan maksud untuk diketahui oleh umum. Oleh karena itu, perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya dalam pasal ini haruslah dimaksudkan untuk menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan maksud untuk diketahui oleh umum.

Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk melindungi Hak Asasi Manusia sebagaimana diatur dalam Konstitusi bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Oleh karena itu, Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dimungkinkan diterapkan terhadap organisasi atau institusi.

Orang tersebut haruslah pribadi kodrati (naturlijk persoon) dan bukan pribadi hukum (rechts persoon). Pribadi hukum tidak mungkin memiliki perasaan terhina atau nama baiknya tercemar mengingat pribadi hukum merupakan abstraksi hukum. Meskipun pribadi hukum direpresentasikan oleh pengurus atau wakilnya yang resmi, tetapi delik penghinaan hanya dapat ditujukan pada pribadi kodrati, sama seperti pembunuhan atau penganiayaan. (Sitompul, 2012)

Delik penghinaan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE bersifat subjektif. Maksudnya, perasaan telah terserangnya nama baik atau kehormatan seseorang ialah hak penuh dari korban. Korbanlah yang dapat menentukan bagian mana dari Informasi atau Dokumen Elektronik yang menyerang kehormatan atau nama baiknya. Akan tetapi, penilaian subjektif ini harus diimbangi dengan kriteria-kriteria yang lebih objektif.

Dalam mempermasalahkan konten yang diduga memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. (Sitompul, 2012)

  • Dalam konten yang dipermasalahkan harus ada kejelasan identitas orang yang dihina. Identitas tersebut harus mengacu kepada orang pribadi tertentu dan bukan kepada pribadi hukum, bukan pula ditujukan kepada orang secara umum, atau kepada sekelompok orang berdasarkan suku, agama, ras, atau golongan.
  • Identitas dapat berupa gambar (foto), username, riwayat hidup seseorang, atau informasi lain lain yang berhubungan dengan orang tertentu yang dimaksud.
  • Dalam hal identitas yang dipermasalahkan bukanlah identitas asli maka perlu ditentukan bahwa identitas tersebut memang mengacu pada korban, dan bukan pada orang lain.
  • Identitas tersebut – meskipun bukan identitas asli – diketahui oleh umum bahwa identitas tersebut mengacu pada orang yang dimaksud (korban) dan bukan orang lain.

Dalam hal pelaku tidak menuliskan identitas kepada siapa kalimat tersebut ditujukan, maka konten tersebut bukan merupakan penghinaan yang dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Apabila ada seseorang yang merasa bahwa kalimat tersebut ditujukan untuk dirinya maka – kecuali pelaku mengaku demikian – diperlukan usaha yang besar untuk mengaitkan antara konten serta tujuan penulisannya dan korban.

Kriteria yang lebih objektif untuk menilai hubungan antara muatan dari informasi atau dokumen elektronik yang dianggap menghina atau mencemarkan nama baik seseorang dan korban dapat dibangun berdasarkan konten dan konteks dari tiap-tiap kasus. Konten yang dipermasalahkan dapat dinilai dari sisi bahasa. Sedangkan konteks dapat dinilai dari sisi sosial maupun psikologi.

Lebih lanjut, secara pragmatis, dalam penerapan Pasal 27 ayat (3) UU ITE hanya korban yang dapat merasakan bagian mana dari suatu pernyataan yang menghina atau mencemarkan nama baiknya. Tidak ada seorangpun yang dapat mewakili korban yang dapat menyatakan sama seperti yang dirasakan oleh korban tanpa korban sendiri yang memberitahukan kepadanya secara langsung. Itulah sebabnya, secara pragmatis, pengurus atau wakil resmi dari institusi atau badan usaha tidak mungkin mengatakan mana dari pernyataan yang menghina atau mencemarkan nama baik instansi atau institusi – sebagai korban.

Kesimpulannya, menerapkan Pasal 27 ayat (3) UU ITE selain ditujukan terhadap manusia sebagaimana dimaksudkan pada pembentukannya sejak awal, merupakan suatu penyimpangan yang memiliki konsekuensi baik secara hukum maupun secara sosial dan kontraproduktif terhadap perlindungan hak asasi manusia yang lain, khususnya kebebasan mengemukakan pendapat (freedom of speech)

Sumber

Sitompul, Josua. 2012. Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw : Tinjauan Aspek Hukum Pidana, Jakarta : Tatanusa.

Pencemaran Nama Baik Badan Usaha Dijerat dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE?

Dalam banyak kesempatan Penulis sering ditanyakan apakah Pasal 27 ayat (3) UU ITE ditujukan hanya kepada pribadi kodrati (natuurlijk person), atau termasuk juga pribadi hukum (rechts persoon)? Beberapa pihak dari instansi atau lembaga serta perusahaan privat berpendapat bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE juga ditujukan untuk melindungi nama baik instansi atau perusahaan mereka, sehingga tulisan-tulisan di Internet yang menyerang nama baik perusahaan atau instansi termasuk dalam penghinaan atau pencemaran nama baik. Apakah pendapat ini tepat?

Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengatur bahwa Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Unsur “muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengacu pada KUHP, khususnya dalam BAB XVI tentang Penghinaan. Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP memberikan dasar pemahaman atau esensi mengenai penghinaan atau pencemaran nama baik, yaitu tindakan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan maksud untuk diketahui oleh umum. Oleh karena itu, perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya dalam pasal ini haruslah dimaksudkan untuk menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan maksud untuk diketahui oleh umum. Orang tersebut haruslah pribadi kodrati (naturlijk persoon) dan bukan pribadi hukum (rechts persoon). Pribadi hukum tidak mungkin memiliki perasaan terhina atau nama baiknya tercemar mengingat pribadi hukum merupakan abstraksi hukum. Meskipun pribadi hukum direpresentasikan oleh pengurus atau wakilnya yang resmi, tetapi delik penghinaan hanya dapat ditujukan pada pribadi kodrati, sama seperti pembunuhan atau penganiayaan. Tidak mungkin pribadi hukum dapat dibunuh atau dianiaya – secara harafiah.

Pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan implementasi dari perlindungan terhadap pribadi yang diatur dalam Konstitusi. Pasal 27 ayat (3) UU ITE pernah diuji ke-konstitusionalitas-an-nya. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap uji review pasal yang dimaksud Nomor 50/PUU-VI/2008 dan Nomor 2/PUU-VII/2009, MK menyatakan bahwa muatan pasal tersebut selaras dengan ketentuan UUD NRI 1945.

Apakah wakil resmi dari perusahaan atau instansi yang merasa nama baik instansi atau perusahaannya tercemar tidak memiliki upaya hukum? Bagi wakil resmi tersebut dapat mengajukan upaya hukum, misalnya dengan mengajukan gugatan. Akan tetapi Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak ditujukan untuk hal yang dimaksud.

Hal lain yang perlu ditekankan di sini ialah bahwa delik penghinaan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE bersifat subjektif – sama seperti dalam pasal 310 KUHP. Maksudnya, perasaan telah terserangnya nama baik atau kehormatan seseorang ialah hak penuh dari korban. Korbanlah yang dapat menentukan bagian mana dari Informasi atau Dokumen Elektronik yang menyerang kehormatan atau nama baiknya. Akan tetapi, penilaian subjektif ini harus diimbangi dengan kriteria-kriteria yang lebih objektif. Tanpa ada kriteria yang lebih objektif, maksud perlindungan hukum yang diberikan melalui Pasal  27 ayat (3) UU ITE dapat disalah gunakan. Kriteria-kriteria tersebut dapat dibangun berdasarkan kejelasan identitas orang yang dihina dan muatan dari informasi atau dokumen elektronik yang dianggap menghina atau mencemarkan nama baik seseorang.

Putusan MK 50/PUU-VI/2008

Putusan MK 2/PUU-VII/2009

Delik Penghinaan dan SARA dalam UU ITE: Apakah Laporan atau Aduan.

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, ketentuan penghinaan dan pencemaran nama baik diatur dalam Pasal 27 ayat (3), sedangkan ketentuan SARA diatur dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE.

Banyak pihak menganggap Pasal 27 ayat (3) merupakan delik biasa. Pemahaman ini keliru dari dua hal, yaitu dari segi esensi delik penghinaan dan dari sisi historis. Secara esensi penghinaan atau pencemaran nama baik merupakan perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang, sehingga nama baik orang tersebut tercemar atau rusak.Dalam menentukan adanya penghinaan atau pencemaran nama baik, konten dan konteks menjadi bagian yang sangat penting untuk dipahami. Tercemarnya atau rusaknya nama baik seseorang secara hakiki hanya dapat dinilai oleh orang yang bersangkutan. Dengan kata lain, korbanlah yang dapat menilai secara subjektif tentang konten atau bagian mana dari Informasi atau Dokumen Elektronik yang ia rasa telah menyerang kehormatan atau nama baiknya. Konstitusi memberikan perlindungan terhadap harkat dan martabat seseorang sebagai salah satu hak asasi manusia. Oleh karena itu, perlindungan hukum diberikan kepada korban, dan bukan kepada orang lain. Orang lain tidak dapat menilai sama seperti penilaian korban.

Sedangkan konteks berperan untuk memberikan nilai objektif terhadap konten. Pemahaman akan konteks mencakup gambaran mengenai suasana hati korban dan pelaku, maksud dan tujuan pelaku dalam mendiseminasi informasi, serta kepentingan-kepentingan yang ada di dalam pendiseminasian konten. Oleh karena itu, untuk memahami konteks, mungkin diperlukan pendapat ahli, seperti ahli bahasa, ahli psikologi, dan ahli komunikasi.

Kedua, secara historis ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengacu pada ketentuan penghinaan atau pencemaran nama baik yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP), khususnya Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Dalam KUHP diatur dengan tegas bahwa penghinaan merupakan delik aduan. Tidak adanya ketentuan yang tegas bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan delik aduan kerap dipermasalahkan dalam menerapkan ketentuan ini. Akan tetapi dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 mengenai konstitusionalitas Pasal 27 ayat (3) UU ITE telah ada penegasan bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan delik aduan. Dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi Butir [3.17.1] dijelaskan

Bahwa terlepas dari pertimbangan Mahkamah yang telah diuraikan dalam paragraf terdahulu, keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sebagai genus delict yang mensyaratkan adanya pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut, harus juga diperlakukan terhadap perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, sehingga Pasal a quo juga harus ditafsirkan sebagai delik yang mensyaratkan pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut di depan Pengadilan.

Pasal 28 ayat (2) UU ITE juga sudah pernah diuji konstitusionalitasnya terhadap UUD NRI 1945 dalam perkara Nomor 52 PUU-XI/2013. Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa Pasal 28 ayat (2) UU ITE tidak bertentangan dengan Konstitusi. Putusan MK yang dimaksud tidak memberikan penjelasan mengenai apakah ketentuan ini merupakan delik laporan atau delik aduan, sehingga hal ini masih terbuka untuk didiskusikan.

Dasar hukum:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
  2. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
  3. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008;
  4. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52 PUU-XI/2013;

Referensi:

Sitompul, Josua, 2012. Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw : Tinjauan Aspek Hukum Pidana, Jakarta : Tatanusa;

———-, Hukumonline : Legalitas Hasil Cetak Tweet Sebagai Alat Bukti Penghinaan

———-, Hukumonline : Pasal untuk Menjerat Penyebar Kebencian SARA di Jejaring Sosial