Merekam Pembicaraan Tanpa Izin

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) pada dasarnya memuat dua bagian besar pengaturan:

1.    Pengaturan mengenai sistem dan transaksi elektronik;

2.    Pengaturan mengenai tindak pidana siber yang mencakup hukum materil dan hukum formil.

Pengaturan tindak pidana siber dalam konteks hukum materil mengacu pada Council of Europe Convention on Cybercrime, 2001.

Pasal 31 UU ITE mengatur mengenai intersepsi ilegal, sebagai berikut. Continue reading →

Pidana Menduplikat Akun Facebook Orang Lain

Jika ada orang yang beranggapan bahwa dalam dunia siber, setiap orang dapat menjadi siapa saja, maka ia perlu  membaca artikel ini. Setiap orang dapat menjadi siapa saja sepanjang identitas kedua, ketiga, dan seterusnya itu adalah miliknya, belum digunakan dan/atau bukan identitas orang lain. Penggunaan identitas orang lain dapat menimbulkan konsekuensi hukum, baik perdata maupun pidana. Perbuatan menduplikat akun facebook orang lain ialah salah satu bentuk dari penggunaan identitas seseorang. Continue reading →

Pencurian Data : Apakah Data dapat Dipersamakan dengan Barang?

Dalam Pasal 406 KUHP diatur perbuatan dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tidak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain. Dalam Pasal 362 KUHP diatur perbuatan mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum. Apakah data dapat dipersamakan dengan barang? Apakah penggunaan istilah “pencurian data” tepat? 

Menggunakan kedua pasal dalam KUHP yang dimaksud untuk konteks ruang siber mengharuskan interpretasi bahwa konsep barang dalam KUHP adalah sama dengan konsep Informasi atau Dokumen Elektronik dalam KUHP. Bukankah pengertian barang dalam yurisprudensi Indonesia telah diperluas sampai termasuk kepada listrik? Dapatkah pengertian “barang” diperluas sehingga termasuk di dalamnya Informasi atau Dokumen Elektronik? Yurisprudensi Belanda dan Indonesia telah menerima bahwa listrik adalah salah satu bentuk “barang” ; dan oleh karena itu, terminologi “barang” dapat diperluas sehingga termasuk “data komputer”. Apabila hal tersebut dimungkinkan maka pemindahan terhadap Informasi atau Dokumen Elektronik dapat dilakukan dengan menggunakan paham KUHP; demikian pula pengrusakan informasi atau dokumen elektronik.
Perdebatan mengenai dapat disamakannya “data” dengan “barang” telah terjadi di Negara Belanda dalam kurun waktu 1980 s.d. 1990an, dan perdebatan tersebut berakhir dengan keluarnya Yurisprudensi 1997, 574; Mahkamah Agung Belanda menyatakan bahwa data komputer tidak dapat dijadikan objek penyitaan karena data komputer bukanlah “barang (goed).” Menurut Koops, terminologi “barang” dalam hukum pidana memiliki karakteristik yang tidak bisa diubah yaitu bahwa hanya ada satu orang yang dapat mempunyai penguasaan atas suatu barang. Meskipun “barang” tidak harus sesuatu yang berwujud (tangible), tetapi penguasaannya harus berada pada satu orang. Selain itu menurut Koops, konsep barang tunduk pada hukum property (kebendaan), sedangkan data pada hukum intellectual property. Dalam kasus pencurian listrik, listrik merupakan barang tidak berwujud tetapi penguasaan listrik berada pada satu orang. Listrik berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dan perpindahan tersebut dapat dibuktikan dengan menyalanya lampu atau mesin, dan ketika listrik berpindah, energi tersebut tidak lagi berada pada tempatnya semula. Tidak demikian halnya dengan data; data dapat dikuasai oleh lebih dari satu orang sehingga penguasaan terhadap data menjadi tidak spesifik. Maksudnya, ketika seseorang ‘mengambil’ data komputer dari orang lain, keduanya masih dapat mengakses data yang sama. Data komputer yang dimaksud dapat tidak berpindah dari tempatnya semula, seperti halnya listrik.
Menyamakan kedua terminologi ini adalah salah satu hal yang sangat sulit untuk diterapkan – jika tidak dapat dikatakan mustahil. Oleh karena itu, dalam UU ITE digunakan terminologi “memindahkan” dan bukan “mencuri”.

Referensi

  1. Josua Sitompul (2012), Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw : Tinjauan Aspek Hukum Pidana.
  2. Putusan Hooge Raad tanggal 23 Mei 1921, N.J.1921, 564 pada kasus pencurian listrik di Gravenhage, Topo Santoso, Hukum Pidana, http://staff.ui.ac.id/internal/132108639/material/HUKUMPIDANA1.pdf.
  3. Eoghan Casey, Digital Evidence and Computer Crime: Forensic Science, Computers and the Internet, Third Edition, Elsevier, London, Inggris.
  4. Bert-Jaap Koops (2005), ‘Cybercrime Legislation in the Netherlands’, in: Pauline C. Reich (ed.), Cybercrime and Security, Vol. 2005/4, Dobbs Ferry, NY: Oceana Publications.

 

Alat Bukti Elektronik (Digital Evidence) dalam UU ITE

Ada banyak pertanyaan mengenai konstruksi hukum alat bukti elektronik yang diatur dalam UU ITE, atau kedudukan alat bukti elektronik dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia. Artikel ini membahas mengenai kedua hal tersebut.

UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik memberikan dasar hukum mengenai kekuatan hukum alat bukti elektronik dan syarat formil dan materil alat bukti elektronik agar dapat diterima di persidangan.

Apakah Alat Bukti Elektronik itu? Alat Bukti Elektronik ialah Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memenuhi persyaratan formil dan persyaratan materil yang diatur dalam UU ITE.

Pasal 5 ayat (1) UU ITE mengatur bahwa Informasi Eletkronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

Yang dimaksud dengan Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. (Pasal 1 butir 1 UU ITE)

Sedangkan yang dimaksud dengan Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. (Pasal 1 butir 4 UU ITE)

Pada prinsipnya Informasi Elektronik dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan dengan Dokumen Elektronik. Informasi Elektronik ialah data atau kumpulan data dalam berbagai bentuk, sedangkan Dokumen Elektronik ialah wadah atau ‘bungkus’ dari Informasi Elektronik. Sebagai contoh apabila kita berbicara mengenai file musik dalam bentuk mp3 maka semua informasi atau musik yang keluar dari file tersebut ialah Informasi Elektronik, sedangkan Dokumen Elektronik dari file tersebut ialah mp3.

Pasal 5 ayat (1) UU ITE dapat dikelompokan menjadi dua bagian. Pertama Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik. Kedua, hasil cetak dari Informasi Elektronik dan/atau hasil cetak dari Dokumen Elektronik. (Sitompul, 2012)

Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik tersebut yang akan menjadi Alat Bukti Elektronik (Digital Evidence). Sedangkan hasil cetak dari Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik akan menjadi alat bukti surat.

Pasal 5 ayat (2) UU ITE mengatur bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat bukti hukum yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.

Yang dimaksud dengan perluasan di sini harus dihubungkan dengan jenis alat bukti yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU ITE. Perluasan di sini maksudnya: (Sitompul, 2012)

  • Menambah alat bukti yang telah diatur dalam hukum acara pidana di Indonesia, misalnya KUHAP. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai Alat Bukti Elektronik menambah jenis alat bukti yang diatur dalam KUHAP;
  • Memperluas cakupan dari alat bukti yang telah diatur dalam hukum acara pidana di Indonesia, misalnya dalam KUHAP. Hasil cetak dari Informasi atau Dokumen Elektronik merupakan alat bukti surat yang diatur dalam KUHAP.

Perluasan alat bukti yang diatur dalam KUHAP sebenarnya sudah diatur dalam berbagai perundang-undangan secara tersebar. Misalnya UU Dokumen Perusahaan, UU Terorisme, UU Pemberantasan Korupsi, UU Tindak Pidana Pencucian Uang. UU ITE menegaskan bahwa dalam seluruh hukum acara yang berlaku di Indonesia, Informasi dan Dokumen Elektronik serta hasil cetaknya dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah. (Sitompul, 2012).

Bagaimana agar Informasi dan Dokumen Elektronik dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah? UU ITE mengatur bahwa adanya syarat formil dan syarat materil yang harus terpenuhi. Syarat formil diatur dalam Pasal 5 ayat (4) UU ITE, yaitu bahwa Informasi atau Dokumen Elektronik bukanlah dokumen atau surat yang menurut perundang-undangan harus dalam bentuk tertulis. Sedangkan syarat materil diatur dalam Pasal 6, Pasal 15, dan Pasal 16 UU ITE, yang pada intinya Informasi dan Dokumen Elektronik harus dapat dijamin keotentikannya, keutuhannya, dan ketersediaanya. Untuk menjamin terpenuhinya persyaratan materil yang dimaksud, dalam banyak hal dibutuhkan digital forensik. (Sitompul, 2012)

Oleh karena itu, email, file rekaman atas chatting, dan berbagai dokumen elektronik lainnya dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah. Dalam banyak hal alat bukti elektronik dan hasil cetaknya. Sudah ada beberapa putusan yang membahas mengenai kedudukan alat bukti elektronik.

Peraturan Perundang-undangan

  • UU 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
  • UU 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan;
  • UU 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang;
  • UU 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003;
  • UU 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.

Buku
Sitompul, Josua. 2012. Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw : Tinjauan Aspek Hukum Pidana, Tatanusa, Jakarta.