Pidana Menduplikat Akun Facebook Orang Lain

Jika ada orang yang beranggapan bahwa dalam dunia siber, setiap orang dapat menjadi siapa saja, maka ia perlu  membaca artikel ini. Setiap orang dapat menjadi siapa saja sepanjang identitas kedua, ketiga, dan seterusnya itu adalah miliknya, belum digunakan dan/atau bukan identitas orang lain. Penggunaan identitas orang lain dapat menimbulkan konsekuensi hukum, baik perdata maupun pidana. Perbuatan menduplikat akun facebook orang lain ialah salah satu bentuk dari penggunaan identitas seseorang. Continue reading →

Mengapa Perlu Pengaturan Konten Ilegal dalam UU ITE?

Pertanyaan di atas merupakan pertanyaan lain yang sering ditanyakan dalam berbagai diskusi mengenai UU ITE. Beberapa komentator berpendapat bahwa pengaturan kontel ilegal dalam UU ITE dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman atau bahkan melanggar kebebasan berekspresi; lagipula dunia siber berbeda dengan dunia fisik; dunia siber tidak membutuhkan pengaturan semacam itu. Beberapa komentator lain berpedapat bahwa ketentuan konten ilegal dalam UU ITE tumpang tindih dengan KUHP. Penjelasan berikut mungkin dapat memberikan perepektif lain. Continue reading →

Bagaimana Mengatur Cyberspace?

Bagaimana mengatur dunia siber yang virtual? Tapi sebelum menjawab pertanyaan ini, pertanyaan mendasar yang harus ditanyakan ialah : apakah dunia siber perlu diatur? Beberapa komentator berpendapat bahwa Internet ialah milik bersama sehingga setiap orang memiliki hak penuh untuk berada di dalam dunia siber, termasuk berinteraksi di dalamnya. Oleh karena itu, pemerintah tidak perlu campur tangan dengan membuat regulasi yang membatasi kebebasan mereka. Bahkan, teknologi akan berkembang apabila pemerintah tidak mengontrol teknologi, dan apabila halangan-halangan terhadap free-market competition dihilangkan. (Langdon Winner, 1997) Continue reading →

Pengaturan Tindak Pidana Siber Indonesia

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memberikan dapak yang luas dalam berbagai aspek kehidupan, baik secara positif maupun negatif. Salah satu dampak negatif yang dimaksud ialah bahwa teknologi informasi dan komunikasi memungkinkan para pelaku kejahatan melakukan tindak pidana konvensional dengan sarana TIK maupun melakukan perbuatan yang belum diatur dalam, atau sulit untuk diklasifikasikan sebagai tindak pidana menurut perundang-undangan pidana yang ada. Perbuatan-perbuatan yang dimaksud lebih dikenal dengan tindak pidana siber (cybercrimes). Oleh karena itu, tindak pidana siber (cybercrimes) merupakan konsep terus berkembang mengikuti perkembangan teknologi. Continue reading →

Uni Eropa Usulkan Lembaga Anti Cybercrime Baru

Ada begitu banyak instumen regional yang digagas persatuan negara Eropa yang dapat menjadi bahan bagi pembentukan peraturan perundang-undangan atau kebijakan di Indonesia terkait regulasi dunia siber. Sebut saja Convention on Cybercrimes yang sudah menjadi pedoman utama bagi kebanyakan negara-negara di dunia dalam membentuk perundang-undangan cybercrimes. Indonesia juga mengadopsi konvensi ini dalam pembentukan UU ITE. Selain itu, Directive 95/46/EC tentang data protection dapat dijadikan bahan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan mengenai privasi. Aturan-aturan yang terdapat di dalamnya dimaksudkan untuk melindungi warga negara dari tiap negara anggota; menurut Direktif ini, perlindungan terhadap data merupakan bagian perlindungan warga negara. Ada juga instrumen yang lain yang menekankan pada perlindungan data. Berita di bawah ini menginspirasi penulis mengenai perlunya kerja sama yang lebih konkrit di antara negara-negara anggota organisasi dalam menangani tindak pidana siber. Sebagai anggota ASEAN dan sebagai anggota APEC, ada baiknya Indonesia juga meneruskan (echo) pesan ini. TEMPO.CO, Jakarta–Negara-negara di Eropa menggagas lembaga baru yang akan mengurusi kejahatan internet alias Cybercrime. Sebanyak 40 ribu perusahaan dari berbagai sektor , termasuk energy, perbankan dan rumah sakit wajib melaporkan jika terjadi pelanggaran kemananan internet, yang akan diatur dalam aturan baru yang diusulkan oleh Uni Eropa. Langkah ini merupakan bagian dari langkah global untuk memerangi kejahatan dunia maya. Continue reading →

Legalitas mengakses Handphone Suami atau Istri

Apakah suami atau istri dapat mengakses (membuka, membaca, membalas, atau menghapus SMS, dan menerima panggilan) telepon selular istri atau suami?Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) merupakan delik laporan. Pasal ini dimaksudkan untuk melindungi properti dan juga privasi seseorang. Hanya pemilik atau yang memiliki hak yang dapat mengakses suatu Sistem Elektronik. Tidak hanya itu, di dalam satu Sistem Elektronik terdapat informasi, dan tiap informasi memiliki nilai, baik nilai yang bersifat pribadi maupun nilai ekonomis, sehingga privasi dan kepentingan pemilik atau pihak yang berhak tersebut dilindungi oleh ketentuan Pasal 30 ayat (1) UU ITE. Continue reading →

Berita Bohong dan Menyesatkan Pasal 28 ayat (1) UU ITE

Beberapa waktu lalu ada diskusi mengenai penjualan laughing gas (nitrous oxide – N2) melalui website. Calon penjual ingin memasarkan produknya berdasarkan fakta dari Wikipedia bahwa N2O merupakan gas yang tidak berbahaya pada saat dihirup dengan dosis tertentu. Oleh karena itu, calon penjual  menentukan takaran penggunaan berdasarkan uji coba yang dilakukan terhadap dirinya sendiri. Apakah website Wikipedia dapat dijadikan acuan hukum sehingga apabila di kemudian hari terbukti takaran tersebut tidak aman maka penjual tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana? Apabila memang gas tersebut tidak aman, apakan penjualan gas ini dilarang mengingat perusahaan rokok juga menjual rokok secara bebas padahal rokok dapat menyebabkan kanker, impotensi, dan penyakit lain?

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam isu ini adalah: Laughing gas sebagai produk yang memiliki dampak pada kesehatan dan distribusi informasi mengenai laughing gas sebagai produk di Internet. Mengingat rekan menekankan pada isu kedua, yang pertama hanya dibahas secara umum saja yang terkait dengan pembahasan isu kedua.

 

 

Laughing gas sebagai produk yang berdampak pada kesehatan

Dalam penjualan produk yang memiliki dampak pada kesehatan, tentunya dibutuhkan uji klinis yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan best practices. Wikipedia merupakan referensi umum yang perlu diperkuat dengan pendapat ahli. Dari penelitian ini  dapat diketahui tingkat keamanan, dosis yang tepat, dan kontra indikasi, serta penanganan terhadap efek samping penggunaan produk ini. Tentunya hal-hal tersebut penting untuk diinformasikan dalam distribusi produk di Internet.

Pengaturan dalam UU ITE

Dalam dunia siber, anonimitas dan pseudonimitas telah menjadi “hak asasi” setiap warga siber; setiap orang dapat menjadi siapa saja dengan menggunakan identitas apa saja dalam berkomunikasi. Akan tetapi, penggunaan anonimitas dan pseudonimitas tersebut tidak boleh melanggar hak/kepentingan orang lain atau hukum.

Dalam melakukan transaksi online, para pihak tidak perlu bertemu secara langsung, dan mungkin tidak pernah bertemu sebelumnya. Karakteristik-karakteristik ini sering disalahgunakan oleh pelaku kejahatan untuk melakukan penipuan atau mengambil keuntungan dari pihak yang beritikad baik. Oleh karena itu, para pihak yang melakukan transaksi memerlukan tingkat kepercayaan pada level tertentu yang dapat menjembatani risiko yang mungkin muncul dengan kepentingan mereka. Tingkat kepercayaan tersebut dapat dibangun melalui berbagai cara:

–      pengaturan hukum;

–      pengaturan teknologi;

–      pengaturan masyarakat siber;

Pengaturan hukum dibentuk oleh suatu negara dalam bentuk peraturan perundang-undangan, atau oleh suatu lembaga atau organisasi bagi anggotanya. Misalnya, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pengaturan dengan menggunakan teknologi dapat merupakan hasil implementasi dari pengaturan hukum. Misalnya untuk melaksanakan transaksi elektronik, para pihak yang melakukan transaksi dapat menggunakan tanda tangan elektronik atau secure socket layer (SSL). Sedangan pengaturan masyarakat siber dapat berupa norma-norma yang dibangun oleh kominitas, seperti komentar pembeli terhadap penjual terhadap transaksi yang pernah ia lakukan agar calon pembeli lain dapat mengenal si penjual dan kredibilitasnya.

Pasal 9 UU ITE mengatur bahwa Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan. Yang dimaksud dengan “informasi yang lengkap dan benar” meliputi:

  1. Informasi yang memuat identitas serta status subjek hukum dan kompetensinya, baik sebagai produsen, pemasok, penyelenggara maupun perantara;
  2. Informasi lain yang menjelaskan hal tertentu yang menjadi syarat sahnya perjanjian serta menjelaskan barang dan/atau jasa yang ditawarkan, seperti nama, alamat, dan deskripsi barang/jasa.

Secara implisit, ketentuan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa transaksi elektronik harus dilakukan dengan itikad baik. Oleh karena itu, tingkat keamanan, dosis yang tepat, dan kontra indikasi, serta penanganan terhadap efek samping penggunaan laughing gas juga harus dicantumkan dalam website. Meskipun takaran nikotin dan tar dalam sebatang rokok tergolong rendah, pada setiap bungkus rokok terdapat peringatan : “merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin.”

UU ITE juga mengatur sanksi terhadap mereka yang menyalahgunakan karakteristik transaksi online untuk tindak pidana.  Pasal 28 ayat (1) setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik. Ancaman pidananya ialah penjara maksimal 6 tahun dan/atau denda maksimal 1 miliar (Pasal 45 ayat (2) UU ITE). Konsumen yang dimaksud di sini ialah konsumen akhir, bukan konsumen antara; sedangkan kerugian yang dimaksud adalah kerugian materil yang dapat dinilai dengan uang. Perbuatan dengan sengaja menginformasikan manfaat atau kelebihan produk saja dan menyembunyikan informasi material tentang efek samping produk terhadap kesehatan dapat diancam dengan ketentuan ini.

Lebih lanjut Pasal 36 UU ITE mengatur bahwa setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 s.d. Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi Orang lain, diancam dengan pidana penjara maksimal 12 tahun dan/atau denda maksimal 12 M. Kerugian yang di maksud di sini adalah kerugian yang signifikan atau material, bukan kerugian imateril.

Referensi:

–      UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

–      Sitompul, Josua. 2012. Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw : Tinjauan Aspek Hukum Pidana. PT Tatanusa.

–      http://www.drsusanrubin.com/wp-content/uploads/2009/12/laughing_gas.jpg

Pencurian Data : Apakah Data dapat Dipersamakan dengan Barang?

Dalam Pasal 406 KUHP diatur perbuatan dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tidak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain. Dalam Pasal 362 KUHP diatur perbuatan mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum. Apakah data dapat dipersamakan dengan barang? Apakah penggunaan istilah “pencurian data” tepat? 

Menggunakan kedua pasal dalam KUHP yang dimaksud untuk konteks ruang siber mengharuskan interpretasi bahwa konsep barang dalam KUHP adalah sama dengan konsep Informasi atau Dokumen Elektronik dalam KUHP. Bukankah pengertian barang dalam yurisprudensi Indonesia telah diperluas sampai termasuk kepada listrik? Dapatkah pengertian “barang” diperluas sehingga termasuk di dalamnya Informasi atau Dokumen Elektronik? Yurisprudensi Belanda dan Indonesia telah menerima bahwa listrik adalah salah satu bentuk “barang” ; dan oleh karena itu, terminologi “barang” dapat diperluas sehingga termasuk “data komputer”. Apabila hal tersebut dimungkinkan maka pemindahan terhadap Informasi atau Dokumen Elektronik dapat dilakukan dengan menggunakan paham KUHP; demikian pula pengrusakan informasi atau dokumen elektronik.
Perdebatan mengenai dapat disamakannya “data” dengan “barang” telah terjadi di Negara Belanda dalam kurun waktu 1980 s.d. 1990an, dan perdebatan tersebut berakhir dengan keluarnya Yurisprudensi 1997, 574; Mahkamah Agung Belanda menyatakan bahwa data komputer tidak dapat dijadikan objek penyitaan karena data komputer bukanlah “barang (goed).” Menurut Koops, terminologi “barang” dalam hukum pidana memiliki karakteristik yang tidak bisa diubah yaitu bahwa hanya ada satu orang yang dapat mempunyai penguasaan atas suatu barang. Meskipun “barang” tidak harus sesuatu yang berwujud (tangible), tetapi penguasaannya harus berada pada satu orang. Selain itu menurut Koops, konsep barang tunduk pada hukum property (kebendaan), sedangkan data pada hukum intellectual property. Dalam kasus pencurian listrik, listrik merupakan barang tidak berwujud tetapi penguasaan listrik berada pada satu orang. Listrik berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dan perpindahan tersebut dapat dibuktikan dengan menyalanya lampu atau mesin, dan ketika listrik berpindah, energi tersebut tidak lagi berada pada tempatnya semula. Tidak demikian halnya dengan data; data dapat dikuasai oleh lebih dari satu orang sehingga penguasaan terhadap data menjadi tidak spesifik. Maksudnya, ketika seseorang ‘mengambil’ data komputer dari orang lain, keduanya masih dapat mengakses data yang sama. Data komputer yang dimaksud dapat tidak berpindah dari tempatnya semula, seperti halnya listrik.
Menyamakan kedua terminologi ini adalah salah satu hal yang sangat sulit untuk diterapkan – jika tidak dapat dikatakan mustahil. Oleh karena itu, dalam UU ITE digunakan terminologi “memindahkan” dan bukan “mencuri”.

Referensi

  1. Josua Sitompul (2012), Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw : Tinjauan Aspek Hukum Pidana.
  2. Putusan Hooge Raad tanggal 23 Mei 1921, N.J.1921, 564 pada kasus pencurian listrik di Gravenhage, Topo Santoso, Hukum Pidana, http://staff.ui.ac.id/internal/132108639/material/HUKUMPIDANA1.pdf.
  3. Eoghan Casey, Digital Evidence and Computer Crime: Forensic Science, Computers and the Internet, Third Edition, Elsevier, London, Inggris.
  4. Bert-Jaap Koops (2005), ‘Cybercrime Legislation in the Netherlands’, in: Pauline C. Reich (ed.), Cybercrime and Security, Vol. 2005/4, Dobbs Ferry, NY: Oceana Publications.

 

Ruang Lingkup Tindak Pidana Siber UU ITE

Penulis beberapa kali berdiskusi dengan mereka yang memiliki latar belakang teknis atau masyarakat awam mengenai cakupan tindak pidana siber dalam UU ITE. Menurut mereka, tindak pidana siber dalam UU ITE sulit untuk dimengerti sehingga butuh gambaran sederhana mengenai ruang lingkup cybercrimes dalam UU ITE.

Secara sederhana, materi UU ITE dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu mengenai transaksi elektronik dan perbuatan yang dilarang. Bagian perbuatan yang dilarang yang diatur dalam Bab VII dan Bab XI berisi pengaturan tindak pidana teknologi informasi dan transaksi elektronik (cybercrimes) yang dapat diklasifikasikan menjadi:

1. Tindak pidana yang berhubungan dengan aktivitas illegal, yaitu:

a. Distribusi atau penyebaran, transmisi, dapat diaksesnya konten ilegal, yang terdiri dari:
(1) kesusilaan (Pasal 27 ayat (1) UU ITE);
(2) perjudian (Pasal 27 ayat (2) UU ITE);
(3) penghinaan atau pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat (3) UU ITE);
(4) pemerasan atau pengancaman (Pasal 27 ayat (4) UU ITE);
(5) berita bohong yang menyesatkan dan merugikan konsumen (Pasal 28 ayat (1) UU ITE);
(6) menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA (Pasal 28 ayat (2) UU ITE);

b. Dengan cara apapun melakukan akses illegal (Pasal 30 UU ITE);

c. Intersepsi illegal terhadap informasi atau dokumen elektronik atau Sistem Elektronik (Pasal 31 UU ITE);

2. Tindak pidana yang berhubungan dengan gangguan (interferensi), yaitu:
a. Gangguan terhadap Informasi atau Dokumen Elektronik (data interference – Pasal 32 UU ITE);
b. Gangguan terhadap Sistem Elektronik (system interference – Pasal 33 UU ITE);

3. Tindak pidana memfasilitasi perbuatan yang dilarang (misuse of device – Pasal 34 UU ITE);

4. Tindak pidana pemalsuan informasi atau dokumen elektronik (computer related forgery – Pasal 35 UU ITE);

5. Tindak pidana accessoir (Pasal 36 UU ITE);

6. Perberatan-perberatan terhadap ancaman pidana (Pasal 52 UU ITE).